INDAHNYA RAMADHAN

INDAHNYA RAMADHAN
Waktu itu aku lulus dari sekolah MTs yang terletak di desa sebelah, aku merasa sangat senang, sebab kelulusan tersebut menjadi tanda bahwa aku akan nyantri di sebuah pesantren pada bulan Ramadhan mendatang. Berbiicara soal nyantri, sebenarnya aku tidak punya bekal apapun selain membaca Al-Qur’an yang dulu pernah diajarkan orang tua dan kyai di kampungku. Sebelum aku nyantri, banyak sekali cerita-cerita yang ku dapatkan tentang pesantren dari kakek. Kata kakek, pesantren merupakan tempat orang yang mencari ilmu untuk kepentingan akhirat kelak. Kakek juga berkata bahwa di pesantren aku akan mengerti akhlaq al-karimah serta hidup bermasyarakat, sebab pesantren juga merupakan miniatur kehidupan bermasyarakat. Kakek pernah berkata padaku, “Nak, setiap Kyai itu pasti pernah nyantri di pesantren. Kamu kalau nyantri itu harus sabar dan juga patuh pada orang yang lebih tua darimu, supaya kamu kerasan ketika nyantri”.
            Saat itulah aku berfikir, pasti orang-orang di dalam pesantren itu baik-baik, sebab setahuku di pesantren itu kita diajarkan akhlaq dan juga hidup bermasyarakat yang tidak diajarkan di sekolah-sekolah umum. Tapi itu hanyalah pemikiranku yang belum aku buktikan sendiri. Setelah aku masuk di pesantren, aku jadi tahu bahwa apa yang aku fikirkan dahulu itu salah. Ternyata tidak semua orang-orang di pesantren itu baik, sebab orang yang nyantri di pesantren memiliki latar belakang yang berbeda-beda yang mereka bawa dari daerah asalnya masing-masing. Ada yang nakal, ada yang baik, dan ada yang menjadi korban kekhawatiran orang tua akan terseretnya mereka ke dalam pergaulan anak muda zaman sekarang, seperti narkotika, minuman keras, free sex, dan lain sebagainya. Mereka semua dimasukkan kedalam Pesantren karena mereka hendak menjalani proses menjadi orang yang lebih baik menurut didikan sang Kyai dan menjadikannya anak yang Sholih dan Sholihah.
            Mei 2012, tepatnya tiga hari sebelum Ramadhan tiba, aku dan kakekku berangkat ke pesantren pilihan kakek di sudut kabupaten Bojonegoro, setibanya disana aku langsung di sowankan pada Kyai. Sebelum kakek kembali ke rumah, aku di pasrahkan kepada pengurus pesantren  agar aku dicarikan kamar dan almari untuk aku tempati. Sudah dua hari terlewatkan di Pesantren, namun masih terasa lenggang karena santri lama masih menikmati masa liburannya. Mereka diliburkan selama lima hari menjelang tanggal Ramadhan, kemudian semua santri sudah kembali ke Pesantren pada awal Ramadhan untuk ngaji ramadhan atau yang mereka sebut dengan Kilatan selama 23 hari pada Kyai atau Asatidz tertentu. Tak pelak semua santri pun berbondong-bondong membeli kitab yang akan mereka kaji selama pengajian Kilatan di kantor Pesantren.
            Tak terasa banyak hal yang menurutku sangatlah unik, salah satunya diwajibkannya sholat maktubah berjamaah dengan memakai pakaian dan kopyah serba putih. Akhirnya setiap hari mushola pesantren terlihat penuh akan warna putih disebabkan para santri yang sholat berjamaah. Ada lagi yang menurutku unik juga, yaitu setiap datangnya bulan Ramadhan, seluruh sekolah formal yang ada dibawah naungan pesantren diliburkan. Sebab seluruh santri wajib mengikuti pengajian Kilatan di pesantren mereka masing-masing. Mulai ba’da Shubuh sampai jam 22.00 WIB dengan waktu istirahat pada pukul 02.00-04.00 WIB. menyambut datangnya bulan ramadhan. Setelah beberapa hari disini, aku merindukan suasana desaku yang memenuhi pikiranku ini. Akhirnya sebagai pelampiasan, aku menuruti kemauanku dengan bermain petasan bersama anak-anak kampung. Mereka semua bermain petasan di depan pondok pesantren dengan bahagia hingga tak terasa ku terlarut dalam malam. Akhirnya aku kembali ke pesantren pukul 00.00 WIB. Supaya aku terbebas dari hukuman keamanan pondok, aku berdalih sambangan dan diajak orang tua keluar untuj mencari makan. Ternyata berhasil dan aku selamat dari hukuman keamanan pondok dan  tidur sampai waktu sahur tiba.
            Ketika waktu aku dibangunkan oleh pengurus pesantren untuk makan sahur, nampak jelas indahnya ramadhan ketika para santri makan sahur. Ada yang masak sendiri (Jawa; ngeliwet), ada juga yang makan ikut ndalem pengasuh, ada juga yang membeli makan diluar pondok. Setelah sahur aku dan para santri lainnya melakukan aktivitas pribadi seperti sholat malam, membaca Al-Qur’an dan ada juga yang menyambung kembali mimpi yang sempat terputus.
            Pukul 04.00 wib, suara Adzan Shubuh berkumandang. Aku dan para santri lainnya dibangunkan lagi untuk sholat jama’ah bersama Kyai. Aku dan para santri berwudhu’ dengan kantuk yang mengganjal mata kami. Selama sholat ku masih berperang dengan kantuk, terus berlanjut hingga wiridan Ya Lathif berakhir. Setelah semua usai Kyai langsung meneruskan membaca Al-Qur’an di microphone, sedangkan aku dan para santri lainnya menyimak dan mendengarkan sampai selesai. Setelah semuanya usai aku langsung tertidur ditempat, mungkin karena kebiasaanku dirumah masih bersarang dalam diriku, dan kebiasaanku itu ternyata juga berlaku selama aku ngaji kilatan di pesantren, sehingga selama 23 hari aku tidak pernah ikut ngaji pada gus-gus atau ustadz, karena kemalasan dan ketidaktahuanku akan pahalanya mengaji. Sebab dalam fikiranku ada satu alasan yang berani membuatku tidur, yakni hadist Nabi Muhammad SAW yang sangat popular serta laris manis di bulan Ramadhan, hadits itu tak lain adalah “Naumu as-Shoim Ibadatun” yang berarti tidurnya orang yang berpuasa puasa adalah sebuah ibadah.
            Jam mennjukkan pukul 09.30 WIB, aku dibangunkan oleh santri lainnya sebab waktu ngaji telah tiba. Kali ini yang mengisi ialah Kyai Kholiq A.M yang tak lain adalah Mursyid Thoriqoh Qodiriyah Wa Naqsyabandiyah dengan kitab yang istiqomah beliau kaji dari tahun-tahun sebelumnya di tiap bulan Ramadhan yakni kitab Safinah an-Naja, sebuah kitab yang tipis dan kecil yang didalamnya membahas tentang Fiqh. Dari 8 kitab yang ku beli, hanya 2 kitab yang saya maknani secara sempurna dengan penuh kesadaran diri sebab Qori’nya ialah pengasuh pesantren yang ku tempati.
            Jam dinding di mushola pesantren menunjukkan pukul 16.30 WIB yang menandakan jamaah sholat ‘Ashar dilaksanakan dan dilanjutkan mengaji kitab Ayyuha Al-Walad di dalem yakni Kyai Am. Ada keunikan ketika beliau memaknai lafadz ”Ayyuhal Walad” itu sangat sederhana yaitu “Heh, ngger”, sebuah makna yang memiliki cakupan makna yang luas sekali bila kita mehahaminya. Sebab dalam istilah Jawa, kata “Ngger” biasanya digunakan untuk menasihati agar berhati-hati dalam melakukan sesuatu. Pengajian ini wajib diikuti oleh seluruh santri baik putra maupun putri, jadi sekitar 500 santri mendengarkan Pengajian beliau sambil menunggu waktu berbuka puasa.
             Ketika waktu Maghrib tiba, bedug Musholla telah terdengar dan diiringi suara adzan Magrib ala Ustadz Zein yang menjadi tanda berbuka puasa bagi semua santri, tak terkecuali diriku yang sudah bersiap-siap mengambil ta’jilku. Yah, saat itulah puncak keindahan bulan Ramadhan bagiku setelah seharian aku menjauhi larangan-Nya. Meskipun kebanyakan kulakukan dengan tidur, tapi aku tetap memenangkannya, karena aku berhasil mengalahkan hawa nafsu serta mampu mengatur sifat Basyariyah-ku dengan disiplin. Itu semua karena tibanya bulan Ramadhan yang merupakan bulan penuh keberkahan dan keindahan yang dapat dirasakan setiap insan di dunia ini. Marhaban ya Sayyidu Syuhurillah. Mana cerita Ramadhanmu, kawan?
Written by: M. Ali Mashudi ( Ribath Asy-Syafi’i)
 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Travel dokument dan macam macamnya

Bilingualisme dan Dialogsia

Strategi Pembelajaran Mufrodat