Gus Dur dan gagasan Pluralisme di Indonesia

Nama          : M. Ali Mashudi, S.pd.
TTL            : Bojonegoro, 09 September 1994
Alamat        : Tambakberas Jombang
Status          : Mahasiswa
No hp/WA  : 085852645409
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirabbil’alamin. Puji syukur penulis haturkan ke hadirat Allah SWT karena hanya dengan rahmat, hidayah  dan karunia-Nya penulis berhasil menyelesaikan makalah dengan judul “Gus Dur dan gagasan Pluralisme di Indonesia.
Dalam  proses pembuatan makalah ini,  tentunya Penulis mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi Motivasi, support dan saran, untuk itu Penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1.        H. Abdul Kholiq Hasan, M.Hi selaku Rektor Institut Agama Islam Bani Fattah tambakberas jombang
2.        Bapak Dliya’ul Chaq, M.HI selaku Motivator bagi penulis dalam menyeleseikan karya tulis ilmiah ini.
3.        Bapak Muhammad Zakki Masykur,S.S,M.Pd.I selaku Dosen Pengampu mata kuliah Metodologi Penelitian atas ketulusan hati dan kesabarannya dalam membimbing, mendukung dan mengarahkan penulis.
4.        Kedua Orang Tua penulis yang selalu mendo’akan dan mensuport baik dari segi material maupun non material.
5.        Semua teman-teman ku yang berlaku baik maupun yang buruk kepadaku tanpa kalian hidupku pasti tidak ada warnanya.
Penulis sangat menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun sangat kami harapkan demi memperbaiki makalh ini agar sesuai dengan apa yang diharapkan.
Akhir kata, semoga makalah ini bisa memberikan manfaat bagi kita semua, terkhusus buat penulis semoga menjadi amal jariyah, Amin.


Jombang 20 November 2016


Penulis
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR....................................................................................... 1
DAFTAR ISI....................................................................................................... 2
BAB I.................................................................................................................... 3
PENDAHULUAN............................................................................................... 3
A.    Latar Belakang Masalah............................................................................ 3
B.     Rumusan Masalah..................................................................................... 4
C.     Tujuan Penulisan....................................................................................... 4
D.    Manfaat Penelitian………………………………………………………..5
E.     Kajian Pustaka ………………………………………………………….. .5
F.      Landasan Teori…………………………………………………………...6
G.    Metode Penelitian………………………………………………………...7
BAB II.................................................................................................................. 8
PEMBAHASAN.................................................................................................. 8
1.      Biografi Gus Dur....................................................................................... .8
2.      Gagasan Gus Dur Mengenai Pluralisme…………………………… …...9
3.      Kontribusi Pemikiran Gus Dur  Pada Kehidupan Masyarakat………….12 
BAB III................................................................................................................. 19
PENUTUP........................................................................................................... 19
A.    Kesimpulan................................................................................................ 19
B.     Saran.......................................................................................................... 19
DAFTAR PUSTAKA......................................................................................... .20











BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar belakang
Gus Dur terkenal sebagai sosok penuh kontroversi. Gaya komunikasinya luwes dan bisa menyesuaikan dengan bahasa audiensi atau orang yang diajak berbicara. Ketika bicara di hadapan khalayak akademik, bahasa yang digunakan adalah bahasa akademik, dan jika berceramah di hadapan masyarakat pedesaan, bicaranya dengan bahasa mereka. Begitu juga ketika bicara di pesantren, bahasa khas santri pun juga beliau sangat menguasai. Kemunculan ide pluralisme yang digagas oleh beliau sangatlah fitri dan beliau berdasarkan Pancasila yaitu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia, yang dalam arti luas menganggap semuanya baik agama atau individu sama, terutama pluralisme agama beliau yang didasarkan pada sebuah keinginan untuk melenyapkan klaim pembenaran yang dianggap sebagai pemicu munculnya kaum kriminalitas, radikalisme agama, perang atas nama agama, konflik horizontal, serta penindasan antar umat agama atas nama agama itu sendiri. Menurut kaum pluralis, konflik dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama baru akan sirna jika masing-masing agama tidak lagi menganggap agamanya paling benar (lenyapnya truth claim). Adapun dilihat dari cara menghapus truth claim, kaum pluralis terbagi menjadi dua kelompok besar. Kelompok pertama berusaha menghapus identitas agama-agama, dan menyerukan terbentuknya agama universal yang mesti dianut seluruh umat manusia. Menurut mereka, cara yang paling tepat untuk menghapus truth claim adalah mencairkan identitas agama-agama, dan mendirikan apa yang disebut dengan agama universal (global religion). Sedangkan kelompok kedua menggagas adanya kesatuan dalam hal-hal transenden (unity of transenden). Dengan kata lain, identitas agama-agama masih dipertahankan, namun semua agama harus dipandang memiliki aspek pengetahuan yang sama.
Inilah gagasan-gagasan penting seputar ide pluralisme agama yang saat ini dipropagandakan di dunia Islam melalui berbagai cara dan media, misalnya dialog lintas agama, doa bersama, dan lain sebagainya. Pada ranah politik, ide pluralisme didukung oleh kebijakan pemerintah yang harus mengacu kepada HAM dan asas demokrasi. Namun disamping banyak orang hebat sebagai tokoh politik yang pernah berjuang dimasanya untuk membawa bangsa ini kearah yang lebih maju, ternyata dari setiap tokoh politik pun memberikan keuntungan dan kemadratan tersendiri terhadap Negara akibat dari pemikiran-pemikiran politik yang mereka terapkan, begitupun dengan pemikiran-pemikiran yang dikeluarkan oleh mantan presiden ke empat Indonesia Abdurahman Wahid (Gus Dur). 

Negara memberikan jaminan sepenuhnya kepada setiap warga Negara untuk beragama, pindah agama (murtad), bahkan mendirikan agama baru. Setiap orang wajib menjunjung tinggi prinsip kebebasan berfikir dan beragama maka pada masa beliau menjadi Presiden RI Departemen Penerangan di bubarkan oleh beliau karena mereka membatasi berfikirnya Negara. Seperti yang dicetuskan oleh para penggagas paham pluralisme. Secara etimologi Pluralisme terdiri dari dua kata yaitu plural (banyak) dan isme (paham) sehingga bila digabungkan menjadi beragam pemahaman, atau bermacam - macam paham. Secara terminology pluralisme merupakan suatu kerangka interaksi yang mana setiap klompok menampilkan rasa hormat dan toleran satu sama lain, dan selalu berinteraksi tanpa konflik dan asimilasi. Seiring berjalan nya waktu kata pluralism telah telah mengalami perkembangan yang disesuaikan dengan prubahan zaman dan kepentingan dari beberapa pihak. Seperti yang di kemukan oleh Gus Dur bahwa ia mengasumsikan pluralisme sebagai identitas kultural, kepercayaan dan agama harus disesuaikan dengan zaman modern, karena agama-agama tersebut akan berevolusi menjadi satu dan menganggap semua agama itu sama. 

B.     Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dapat mengambil rumusan masalah sebagai berikut:
1.     Bagaimana gagasan Gus Dur mengenai pluralisme di Indonesia ?
2.     Bagaimana dampak dan kontribusi pemikiran Pluralisme Gus Dur di Indonesia ?

C.    Tujuan Penelitian
Penelitian ilmiah ini bertujuan untuk mengetahui pemikiran Gus Dur tentang plualisme.
Selain itu, penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui pemikiran Gus Dur mengenai pluralisme tersebut tarhadap dinamika pembaruan pemikiran Islam, dan secara umum terhadap kehidupan beragama khususnya di Indonesia.
Lebih dari itu, penulis berharap dengan penulisan karya ilmiyah ini , penulis bisa memberikan andil terhadap problematika islam diIndonesia, khususunya berkaitan dengan kajian pluralisme bagi upaya pembaruan pemikiran islam dan kehiupan umat beragama.

D.    Manfaat Penelitian
 Manfaat dari penelitian ilmiah ini untuk menambah khazanah keislaman pada diri penulis sendiri khususnya, dan seluruh Masyarakat Indonesia pada umumnya, untuk bisa menghargai perbedaan  baik golongan ataupun etis lebih-lebih masalah Agama yang ada di Indonesia ini sesuai dengan pemikiran Gus Dur tentang pluralisme. Pluralisme dalam pandangan Gus Dur yang intinya adalah sebagai upaya dalam menyikapi pluralisme masyarakat dngan perbedaan budaya, agama, etnik, bahasa, warna kulit dan ideology dari manusia satu dengan lainnya. Dalam soal pandangan Islam terhadap kekerasan dan terorisme, sikap Gus Dur sangat jelas:  mengecam keras dan mengutuk penggunaan kekerasan oleh sejumlah kelompok islam radikal yang mengatas namakan Islam, namun suka demo bahkan memerangi yang tidak sepaham dengannya.
E.     Kajian Pustaka
Penulis bisa memastikan, bahwa karya karya ilmiyah ini bukan yang pertama kalinya membahas pluralisme,  penulis juga berani memastikan bahwa karya Ilmiyah ini bukan yang pertama kalinya membahas pemikiran Gus Dur tentang pliralisme.
Sebelumnya, sudah sangat banyak bahan kepustakaan berupa ensiklopedia, buku, jurnal, skripsi, tesis disertasi dan yang lainnya. Yang membahas persoalan tersebut, karya ilmiyah ini hanya dimaksud melengkapi kajian yang sudah ada sekaligus membahas fokus masalah yang belum tersentuh oleh karya ilmiyah yang sudah ada.
Setelah penulis membaca buku Islamku, Islam Anda, Islam Kita yang di tekankan oleh Gus Dur beberapa kali adalah ayat Al-Qur’an surat al Hujarat 49:13 yang berbunyi: “sesungguhnya telah Ku-ciptakan laki-laki dan perempuan, dan Ku-jadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku bangsa agar kalian saling mengenal[1], yang memberi indikasi bahwa semua manusia itu sama di sisi Tuhannya akan tetapi ketaqwaannya lah yang menjadi titik perbedaannya, Islam yang di ajarkan Gus Dur ialah berlandaskan Ahlus sunnah wal jama’ah An Nahdhiyah yang mempunyai Prinsip “ Memelihara dan mengambil sesuatu yang menjadikan Maslahat untuk ummat.





F.     Landasan Teori
Hasil penelitian para Arkolog pada Abad ke 19, menemukan bahwa agama adalah sebuah fenomena universal yang ditemukan di setiap kelompok manusia, kapan saja dan dimana saja, bahkan Arkiolog menyimpulkan bahwa agama tidak dibatasi ruang dan waktu.
Djamannuri mencatat, tidak sedikit sarjana yang berpandanggan bahwa, tidak pernah ditemukan masyarakat hidup tampa Agama, antara lain ditegaskan oleh Raimon firth” Agama adalah universal alam masyarakat manusia[2].
Para pesikolog, sosioilog, dan filsafat adalah yang meragukan hal itu. Mereka berpandanggan bahwa pengalaman berAgama itu tidak beda dengan pengalaman-pengalaman umum pada lainya. Pengalaman seseoranga dalam beribadah, dinilai tidak berbeda dengan pengalaman seorang sehari-sehari, seperti makan tidur dan lainya.
Secara garis besar Agama memiliki dua aspek yang tidak bisa dipisahkan, yakni aspek normatif dalam pengertian Agama sebagai wahyu dari tuhan, serta Historis dalam artikan perkembangan Agama tidak bisa dilepaskan dari faktor sejarah pemeluknya[3].
Dalam dataran Normatif, sebuah agama memiliki nilai-nilai Universal yang disepakati oleh umatnya. Misalnya berkaitan dengan Tuhan, umat agama memiliki persamaan pandangan. Namun pada tataran historis sering kali berbeda pandangan , terkait dengan sosiologi Agama, Antropologi Agama dan psikologi Agama dan aspek lainnya yang berhubungan dengan interaksi Agama dengan sejarah manusia[4].
Untuk menjadi agama yang dianut sebagian besar bangsa Indonesia, islam melalui masa yang paling panjang dalam proses penyebaranya , sungguh proses itu sampai sekarang hampir belum sempurna . jika diteliti Nampak bahwa islam, terutama di Jawa sedang dalam proses perubahan, heterodox (murtd, bid’ah) ke ortodoks (ajaran yang benar)Munculnya gerakan reformis dan gencarnya pembangunan dalam banyak bidang, merupakan usaha besar dalam mencapai usaha itu. Termasuk apa yang dilakukan Gus Dur adalah suatu usaha yang untuk melakukan pembaruan pemikiran islam untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman.
Terjadinya pluralisme budaya dari penganut agama yang sama tidak mungkin dihindari, ketika agama telah menyebar kewilayah yang begitu luas, dengan latar belakang cultural budaya local. Kuat atau lemahnya akar budaya yang telah ada sebelumnya dengan sendirinya sangat amat menentukan terhadap seberapa kuat ajaran Agama yang universal mencapai realitas budaya lokal[5].

G.    Metode Penelitian
a.       Jenis Penelitian
Jenis penelitian dalam penelitian ini adalah pustaka, dengan menelusuri dan mengkaji bahan-bahan kepustakaan yang secara khusus membahas tentang pluralisme menurut Gus Dur dalam bukunya Islamku, Islam anda, Islam kita.dengan sumber data:
1. Sumber data primer :  Islamku, Islam anda, Islam kita karya Gus Dur.
2.  Sumber data sekunder: seluruh buku-buku yang berhubungan dengan pluralisme.
b.      Metode Pengumpulan data
Dalam menyusun penelitin ini, penulis mengumpulkan data yang diperlukan, dengan cara mempelajari dan mengkaji sumber-sumber data tersebut, baik itu sharing dengan senior atau bertanya pada seseorng yang dianggap ahli dalam masalah pluralisme.
c.       Metode Analisis Data
Data yang penulis dapatkan sebagian dijadikan sebagai pedoman dan bagian yang lain dijadikan sebagai kutipan.
Data yang berhasil penulis kumpulkan akan penulis analisis dengan mengunakan teknik dikritif dan interpretative dengan cara mengambarkan secara umum pluralisme dalam islam menurut Gus Dur. Hasil analisis tesebut secara deduktif akan rumuskan pada kesimpulan terakhir.
d.      Langkah-langkah penelitian
Bab pertama berisi Pendahuluan yang didalam nya terdapat : latar belakang, Rumusan Masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan tinjauan pustaka.
Bab kedua berisi tenyang landasan teori yang memuat biografi Gus Dur, tuntunan memecahkan masalah, pemikiran para pakar, obyek formal dan matrial, tentang metode penelitian berisi: tipe penelitian, sumber data, pengumpulan data, analisis data, dan langkah penelitianya.
Bab ketiga penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Biografi Gus Dur
Abdurrahman Ad-dakhil bin Wahid Hayim bin Hasyim Asy’ary, demikian nama lengkap dari Abdurrahman Wahid yang kemudian lebih dikenal dengan sebutan Gus Dur, adalah sosok yang lahir dan berkembang dari suatu kombinasi kualitas personal yang tidak lazim, sebagian juga karena faktor-faktor lingkungan, setidaknya dari latar belakang keluarganya.
Abdurrahman Wahid menikah dengan seorang putri dari H. Abdullah Syukur, pedagang terkenal yang pernah menjadi murid Gus Dur saat menjadi guru di mu’alimat. Mereka menikah pada tanggal 11 juli 1968 dan melangsungkan pernikahan jarak jauh, karena Gus Dur masih berada di mesir. Dari pernikahan ini Gus Dur dikaruniai empat anak perempuan yaitu, Alissa Qatrunnada Munawarah (Lisa), Zanuba Arifah Chafsoh (Yeny), Anita Hayatunufus (Anita), dan Inayah Wulandari (Inayah).
            Keluarga Gus Dur tak jauh berbeda dengan keluarga yang lain. Gus Dur memiliki konsep berumah tangga seperti yang pernah diungkapkannya “istri itu yang terbaik kalau nggak ikut campur urusan suami. Dan suami yang baik adalah nggak mau tahu urusan istri, yang terpenting menghormati hak masing-masing. (M.Hamid, 2014,15.).
            Bagi Sinta Nuriayah, Gus Dur tergolong pria yang romantis. Sinta sangat memahami segala kegiatan Gus Dur. Diskusi adalah cara yang jitu bagi sinta untuk bisa mengerti tentang Gus Dur, setiap muncul ide-ide Gus Dur yang mendapat sorotan luas dari masyarakat maka Sinta akan coba memahami, dan keduanya selalu berdiskusi terlebih dahulu. Diskusi seolah telah menjadi menu pengganti keromantisan Gus Dur, yang semakin menjadi sibuk sejak terpilih menjadi Ketua Umum PBNU.
            Sebagai ayah Gus Dur pun merupakan ayah yang Demokratis bagi anak-anak nya. Kendati memberikan kebebasan penuh terhadap anak nya dalam menentukan cita-cita dan pendidikan, namun Gus Dur sangat mencintai anak-anaknya. 
Sosok yang pernah menjadi presiden RI ini lahir di Desa Denanyar, Jombang, Jawa Timur pada tanggal 4 Agustus 1940.  Ia adalah putra dari mantan Menteri Agama RI pertama, K.H. Wahid Hasyim, dengan Ny. Hj. Solehah, dan merupakan titisan langsung dari para kyai besar di Jawa.  Kakek dari ayahnya K.H. Hasyim Asy’ari adalah ulama besar pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang, Jaawa Timur dan pernah memangku jabatan Rais Akbar Pengurus Besar Nahdlatul ‘Ulama.
Setamat Sekolah Dasar di Jakarta tahun 1953, Abdurrahman Wahid melanjutkan pendidikannya pada Sekolah Menengah Ekonomi Pertama (SMEP) di Yogyakarta dan lulus tahun 1957, sambil sesekali belajar mengaji pada K.H.Ali Maksum di Krapyak, walaupun ia sendiri tinggal di rummah pemimpin modernis, K.H. Junaid, seorang ulama yang merupakan anggota Majelis Tarjih Muhammadiyah.
Pendidikan keagamaan selanjutnya diasa di bebrapa pondok pesantren Nahdlatul ‘Ulama terkemuka, antara lain di pesantren Tegalrejo, Magelang dengan menyelesaikan waktu belajarnya kurang dari separoh santri pada umumnya (1957-1959). Dari tahun 1959 hingga 1963, ia belajar di Muallimin dan Mu’allimat Bahrul ‘Ulum, Pesantren Tambaberas, Jombang, Jawa Timur kepada K.H. Abdul Wahab Hasbullah. Berikutnya ia kembali ke Yogyakarta untuk mondok di pesantren Krapyak, dan tinggal tinggal di rumah pemimpin Nahdlatul ‘Ulama terkemuurka K.H. Ma’shum. Setelah itu, ia memperdalam ilmu-ilmu Islam dan sastra Arab di Univers menjawab scara terang-terangan bahwa kenapa beliu membubarkan Ditas al-Azhar, Kairo (Mesir), kemudian pindah ke Fakultas Sastra Universitas Baghdad[6].
B.     Gagasan Gus Dur Mengenai Pluralisme
1.      Pengertian pluralisme
Secara etimologis, asal kata pluralisme adalah pluralism (bahasa Inggris) yang berarti plural (beragam), jamak, atau majemuk. Sedangkan secara terminologis, pluralisme yaitu suatu pandangan atau paham yang memiliki prinsip bahwa keanekaragaman itu jangan menghalangi untuk bisa hidup berdampingan secara damai dalam satu masyarakat yang sama[7]. Maka dari itu dalam bukunya Islmaku, Islam anda islam kita Gus Dur sangat memprioritaskan untuk saling menghormati antara agama satu dengan lainnya yang berdasarkan Nash (QS Al-Hujarat: 13).
Berpedoman dari definisi pluralisme, maka pluralisme agama adalah “sebuah pandangan yang mendorong bahwa berbagai macam agama yang ada dalam satu masyarakat harus saling mendukung untuk bisa hidup secara damai[8]. Maka dalam Kick Andy Gus Dur membubarkan Departemen Penerangan, karena memang dengan tidak adanya Departement penerangan maka rakyat memiliki kebebasan berfikir.
 Sebab-sebab lahirnya teori pluralisme agama banyak dan beragam, sekaligus kompleks. Alasan keragaman itu adalah kebudayaan-kebudayaan yang berbeda menghasilkan perbedaan tanggapan yang nyata. Namun secara umum dapat diklasifikasikan dalam dua faktor utama yaitu faktor internal (ideologis) dan faktor eksternal, yang mana satu faktor dengan faktor lainnya saling mempengaruhi dan berhubungan erat. Faktor internal merupakan faktor yang timbul akibat tuntutan akan kebenaran yang mutlak dari agama-agama itu sendiri, baik dalam masalah aqidah, sejarah maupun dalam masalah keyakinan atau doktrin “keterpilihan”. Faktor ini sering juga dinamakan  dengan faktor ideologis. Adapun faktor yang timbul dari luar dapat diklasifikasikan ke  dalam dua hal, yaitu faktor sosio-politis, faktor ilmiah dan faktor teknologi[9].

2.     Islam: sebuah ajaran kemasyarakatan
Pada perolehan pahala, dan bukannya pengembalian kredit se­perti di bumi. Ketika Allah Swt berfirman:
مَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الْآخِرَةِ نَزِدْ لَهُ فِي حَرْثِهِ ۖ وَمَنْ كَانَ يُرِيدُ حَرْثَ الدُّنْيَا نُؤْتِهِ مِنْهَا وَمَا لَهُ فِي الْآخِرَةِ مِنْ نَصِيبٍ
Barang siapa yang menghendaki Keuntungan di akhirat akan Kami tambah Keuntungan itu baginya dan barang siapa yang menghendaki Keuntungan di dunia Kami berikan kepadanya sebagian dari Keuntungan dunia dan tidak ada baginya suatu bahagianpun di akhirat.(QS al­Syu’ara:20).
Panenan yang dimaksudkan sebagai pahala di akh­ rat bagi perbuatan kita di dunia ini. Digunakannya istilah­-istilah perdagangan dan pertanian dalam al-Qurân untuk keinginan memperoleh pahala bagi amal perbuatan, merupakan penghar­gaan yang sangat tinggi atas profesi­-profesi manusia. Dalam sebuah ayat suci al-Qurân dinyatakan:
وَالْمُوفُونَ بِعَهْدِهِمْ إِذَا عَاهَدُوا
“Orang- orang yang berpegang pada janji mereka, di kala menyampaikan janji setia (QS Al­-Baqarah:177).
 Ini jelas menunjuk kepada profesionalisme seperti itu. Bukankah manusia paling mengutamakan janji profesi ketika mengucapkan janji setia?
Dikombinasikan dengan pengamatan Torrey di atas, jelas­ lah bahwa Islam memberikan penghargaan sangat tinggi kepada profesi. Pemahaman ini justru hilang dari kehidupan kaum mus­ limin dari beberapa abad silam, karena memberikan perhatian terlalu banyak kepada kaum penguasa, serta kebijakan­kebijakan dan tindakan­tindakan mereka, alias memberi perhatian terlalu besar porsinya kepada aspek politik dalam kehidupan bangsa­ bangsa muslim. Sebagai akibat, perhatian atas masalah­masalah profesional ternyata kurang besar, dan dengan sendirinya pemikiran ke arah itupun menjadi sangat kecil. Pada saat yang sama, bangsa­ bangsa Barat telah mencurahkan perhatiannya yang sangat besar kepada masalah­masalah profesionalisme. Dengan sendiri­ nya, pertautan antara Islam sebagai ajaran dan profesi sebagai penerapan ajaran­ajaran tersebut, menjadi tidak bersambung satu sama lain. Ini mengakibatkan ketertinggalan sangat besar dalam pemahaman Islam sebagai agama kehidupan di kalangan para pemeluknya. Karenanya, diperlukan sebuah keberanian moral untuk merambah jalan baru bagi sebuah penafsiran, yang tidak lain adalah sebuah pendekatan profesional.
Kita ambil sebuah firman Allah dalam al-Qurân:
وَإِذَا حُيِّيتُمْ بِتَحِيَّةٍ فَحَيُّوا بِأَحْسَنَ مِنْهَا أَوْ رُدُّوهَا ۗ إِنَّ اللَّهَ كَانَ عَلَىٰ كُلِّ شَيْءٍ حَسِيبًا
Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, Maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungankan segala sesuatu.(QS An-Nisa [4]:86).
 Jika ayat ini ditafsirkan dengan pendekatan profesional, katakanlah bagi seorang produsen barang, maka maknanya menjadi kalau ba­ rang produksi Anda dipuji orang lain, maka tingkatkanlah mutu produksi barang itu sebagai jawaban atas pujian  baik yang di­ ucapkan.
Hal inilah yang harus kita mengerti, jika diinginkan pemahaman lengkap terhadap kitab suci al-Qurân: kitab suci itu ja- nganlah hanya dipahami sebagai dokumen politik, melainkan sebuah penggambaran kehidupan yang lengkap, termasuk pemahaman sejarah masa lampau. Jelas bahwa Islam memperlakukan kehidupan sebagaimana mestinya. Sebuah pemahaman yang benar akan menunjuk kepada kenyataan bahwa Islam bukanlah agama politik semata. Bahkan dapat dikatakan bahwa porsi politik dalam ajaran Islam sangatlah kecil, itupun terkait langsung dengan kepenting­ an orang banyak, yang berarti kepentingan rakyat kebanyakan (kelas bawah di masyarakat). Kalau hal ini tidak disadari, maka politik akan menjadi panglima bagi gerakan­gerakan Islam dan terkait dengan institusi yang bernama kekuasaan. Bukankah ini bertentangan dengan firman Allah dalam kitab suci al-Qurân:
مَا أَفَاءَ اللَّهُ عَلَىٰ رَسُولِهِ مِنْ أَهْلِ الْقُرَىٰ فَلِلَّهِ وَلِلرَّسُولِ وَلِذِي الْقُرْبَىٰ وَالْيَتَامَىٰ وَالْمَسَاكِينِ وَابْنِ السَّبِيلِ كَيْ لَا يَكُونَ دُولَةً بَيْنَ الْأَغْنِيَاءِ مِنْكُمْ ۚ وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا ۚ وَاتَّقُوا اللَّهَ ۖ إِنَّ اللَّهَ شَدِيدُ الْعِقَابِ
Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS Al­-Hasyr [59]:7).
Ayat itu menjadi bukti bahwa Islam lebih mementingkan fungsi pertolongan kepada kaum miskin dan men­derita, dan tidak memberikan perhatian khusus tentang bentuk negara yang diinginkan? Maka dari itu melindungi semua manusia itu menjadi pijakan UUD 1945.
Kalau saja ini dimengerti dengan baik, akan menjadi jelas­lah bahwa Islam lebih mementingkan masyarakat adil dan mak­ mur, dengan kata lain masyarakat sejahtera, yang lebih diuta­makan kitab suci tersebut daripada masalah bentuk negara. Kalaulah hal ini disadari sepenuhnya oleh kaum musli­min, tentulah salah satu sumber keruwetan dalam hubungan antara sesama umat Islam dapat dihindarkan. Artinya, ketidak­ mampuan dalam memahami hal inilah, yang menjadi sebab ke­ melut luar biasa dalam lingkungan gerakan Islam dewasa ini[10].

C.    Kontribusi Pemikiran Gus Dur  Pada Kehidupan Masyarakat
1.      Islam Dan Perdamaian
Gus Dur diundang oleh UNESCO ke Paris, pada Mei 2003, untuk menyampaikan pidato pembukaan (keynote ad- dress) dalam sebuah konferensi mengenai pemerintahan yang baik (good governance) dan etika dunia (global ethics), yang diadakan antara kaum Budhis dan Muslimin. Konferensi itu dimaksudkan untuk mencari jembatan antara agama Islam, yang mewakili agama­agama Ibrahim dan Budhisme yang mewakili agama-­agama di luar tradisi Ibrahim. Dalam kesempatan itu juga, penulis diminta berbicara mengenai asal-­usul (origins) terorisme bersenjata yang sedang melanda dunia saat ini. Diharapkan pidato pembukaan itu akan mewarnai dialog tersebut, yang juga dihadiri oleh delegasi dari Persekutuan Gereja-­Gereja Eropa, wakil dari pimpinan agama Yahudi, Gereja Kristen Orthodox Syria, wakil agama Hindu dan sebagainya. Dari kalangan agama Budha sendiri, hadir Dharma Master Hsin­Tao dari Taiwan dan Sulak Sivaraksa dari Thailand, di samping David Chappel dari University of California di Los Angeles. Pertemuan tersebut adalah yang ketiga kalinya, antara se­ bagian kaum Budhis dan kaum Muslimin (termasuk dari Tuni­ sia, Maroko, Saudi Arabia, Sudan, Tanzania dan sejumlah pemu­ ka kaum Muslimin lainnya). Pertemuan pertama terjadi tahun lalu di sebuah Hotel di Jakarta, disusul pertemuan di New York dan disudahi dengan pertemuan di Kuala Lumpur (dengan Dr. Chandra Muzaffar sebagai tuan rumah). Dari pertemuan-perte­muan tersebut, diharapkan kelanjutan hubungan antara kaum Muslimin dan Budhis, disamping juga akan dilaksanakannya sebuah konferensi besar antar kepala negara­negara berkembang (developing countries) di Bandung, untuk merayakan 50 tahun konferensi Asia­Afrika pertama Di Bandung I pada tahun 2005 kelak. Agenda­agenda Konferensi Bandung II harus ditetapkan tahun ini, untuk mempersiapkan peringatan itu sendiri di Jawa Barat pada waktunya nanti. Hal ini diperlukan, guna mencari alternatif bagi dominasi Amerika Serikat dan sekutu­sekutunya dalam dunia internasional (seperti terbukti dari serangan­se­ rangan atas Afghanistan dan Irak), tanpa harus berkonfrontasi dengan negara adi kuasa tersebut. Timbulnya sikap menolak dengan cara konfrontatif itu, ka­ rena tidak dipikirkan dengan mendalam dan jika hanya dilaku­ kan oleh sebuah negara saja. Terbukti dengan adanya rencana “politik luar negeri” Indonesia yang konyol –seperti keputusan untuk (pada akhir tahun 2003 ini) keluar dari keanggotaan Dana Moneter Internasional (International Monetary Funds). Pada saat menjadi Presiden, penulis bertanya pada seorang ekonom raksasa dari MIT (Massachusset Institute of Technology), Paul Krugman. Ia menjawab, sebaiknya Indonesia jangan keluar dari keanggotaan badan internasional tersebut. Paul Krugman yang juga pengkritik terbesar lembaga itu menyatakan pada penulis, hanya negara dengan birokrasi kecil dan bersih yang dapat ke­ luar dari IMF secara baik, sedangkan birokrasi Indonesia sangat­lah besar dan kotor.
Dalam pidato pembukaan itu, penulis menyatakan bahwa etika global dan pemerintahan yang baik (good governance) hanya akan ada artinya kalau didasarkan pada dua hal: kedaulat­ an hukum dan keadilan dalam hubungan internasional. Ini ber­ arti, negara adi­kuasa manapun harus memperhatikan kedua prinsip ini. Karena itu, perjuangan untuk menegakkan kedaulat­ an hukum dan keadilan dalam hubungan internasional itu harus mendapat perhatian utama. Pidato pembukaan itu, mendapatkan jawaban dan tanggapan sangat positif dari berbagai pihak, ter­ masuk Dharma Master Hsin­Tao (Taiwan) yang mewakili para pengikut agama Budha. Tanggapan yang sama positifnya juga disampaikan oleh Wolfgang Smiths dari Persekutuan Gereja­Ge­ reja Eropa dan Rabbi Alon Goshen Gottstein dari Jerusalem. Ini yang dikatakan oleh beliau di Kick Andy bahwa beliau keliling dunia selama 60 kali dalam dua bulan  hanya untuk menjaga keutuhan  Negara Republik Indonesia. 
Penulis menyatakan pentingnya arti kedaulatan hukum, karena di Indonesia dan umumnya negara­negara berkembang, hal ini masih sangat langka. Justru pada umumnya pemerintah­an mereka bersifat korup, mudah sekali melakukan pelanggaran hukum dan di sini konstitusi hampir-­hampir diabaikan. Perintah kitab suci al-Qur’ân:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُونُوا قَوَّامِينَ بِالْقِسْطِ شُهَدَاءَ لِلَّهِ وَلَوْ عَلَىٰ أَنْفُسِكُمْ 
Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri (QS An-Nisa [4]:135),

 ternyata tidak dipatuhi oleh umat Islam sendiri. Yang lebih senang dengan capaian duniawi yang penuh ketidakadilan, dengan meninggalkan ketentuan­ketentuan yang dirumuskan oleh kitab suci agama mereka sendiri. Dalam pidato pembukaan tersebut penulis menyatakan, agar keadilan menjadi sifat dari etika global dan pemerintahan yang baik (good governance). Itu didasarkan pada pengamatan bahwa sebuah negara adi­kuasa, seperti Amerika Serikat dapat saja melaksanakan dominasi yang hanya menguntungkan diri­ nya sendiri dan merugikan kepentingan negara­negara lain. Ini terbukti dari serangannya atas Irak, yang terjadi dengan meng­ abaikan sikap Dewan Keamanan (DK) PBB. Penulis berpendapat jika dalam waktu tiga bulan Saddam Hussein tidak dapat ditangkap, maka tentu rakyat AS akan ribut minta tentara mereka ditarik dari Irak. Dan perdamaian di nege­ ri Abu Nawas itu harus ditegakkan melalui perundingan damai.  Dengan kata lain, perubahan berbagai sistem (termasuk sistem politik dan pemerintahan) di Irak harus dilakukan tanpa melalui paksaan. Kalau tidak, pemerintah apapun yang akan menggan­ tikan Saddam Hussein akan dianggap sebagai pemerintahan boneka oleh rakyat Irak sendiri. Kenyataan inilah yang harus dipahami oleh semua pihak, termasuk AS. Dengan demikian, apa yang sejak berbulan­bulan ini diusulkan penulis, yaitu per­ damaian di Irak harus dikaitkan langsung dengan perdamaian abadi antara Palestina dan Israel, semakin menjadi relevan.
Sebagai bagian dari pembentukan etika global dan peme­ rintahan baik (good governance) itu, tentu diperlukan adanya kampanye besar­besaran untuk membentuk pengertian yang mendalam atas kedua hal tersebut. Di sinilah terletak peranan pa­ ra agamawan dan moralis dunia, dengan didukung oleh lemba­ ga­lembaga internasional seperti UNESCO. Karena itu tindakan sendiri­sendiri dalam pembentukan pendapat dunia, mengenai etika global dan pemerintahan baik itu, tidak dapat dibenarkan karena diragukan keberhasilannya. Harus ada dialog terus­me­ nerus antara berbagai kalangan bangsa, terutama antara para teoritisi dan para penerap nilai­nilai di lapangan. Di sinilah te­ rasa betapa pentingnya arti dialog seperti yang telah diseleng­ garakan oleh UNESCO di Paris itu. Minimal, bagi berbagai pihak di luar lingkup negara, dapat melakukan pembicaraan mengenai nilai­nilai global yang ingin kita tegakkan dalam pergaulan inter­ nasional. Dengan pertemuan antar berbagai agama tadi, masing­ masing pihak akan saling belajar dan mengambil sumber­-sumber spiritual, dalam membentuk pandangan hidup di masa depan. Kesadaran seperti ini, mulai muncul akibat merajalelanya sinisme yang dibawa oleh “pertimbangan-­pertimbangan politik global” (global political considerations) dan akhirnya menjadi satu­satunya alat pertimbangan. Pertimbangan itu dalam ke­ rangka kajian strategis disebut sebagai “geopolitical considera- tions”, hanya melahirkan kepentingan antara negara­negara adi­kuasa (super-powers) saja, akibatnya tentu akan melumpuh­ kan negara­negara yang bukan adi­kuasa. Apalagi setelah Uni­ Soviet berantakan, maka hanya tinggal sebuah negara adi­kuasa yang memaksakan kehendak dan menginjak­injak hukum inter­ nasional untuk kepentingannya sendiri. Contohnya adalah pe­nyerbuan AS atas Irak, dengan mengesampingkan peranan PBB melalui Dewan Keamanan. Di masa depan, tentu saja hal ini akan membawakan reaksi berupa sederet tuntutan dari negara­-negara berkembangkan sebuah tatanan yang lebih berimbang secara internasional, an­tara negara industri maju (developed countries) dengan negara berkembang (developing countries). Dalam penyusunan tatanan baru seperti itu, tentu saja etika global dan pemerintahan yang baik harus memperoleh perhatian khusus, baik untuk acuan ke­ rangka baru yang hendak didirikan maupun untuk mengendali­ kan perubahan perubahan yang bakal terjadi. Karena itu dialog terus­menerus akan kedua hal itu harus dilakukan, termasuk pertukaran pikiran mengenai peranan spiri­ tualitas manusia. Dialog antara para pemeluk berbagai agama, seperti yang diselenggarakan di Paris tersebut, tentulah sangat menarik bagi kita. Pemaparan pengalaman pribadi dan pikiran dari para pemimpin agama, seperti Dharma Master Hsin Tao dari Taiwan, tentu saja harus menjadi bagian integral dari dialog semacam itu[11].
Gus Dur dan Pluralisme memang dua kata yang tidak bisa di pisahkan dari telinga masyarakat Indonesia. Karena jasa-jasa Gus Dur dalam mengedepankan kebersamaan walaupun berbeda ras dan keyakinan. Namun lagi-lagi prilaku Gus Dur dalam hal ini pun banyak mengundang kontroversi, sehingga kalau menurut penulis, beliau juga layak disebut Pahlawan kontropersi yang menyayangi Negri.
            Gus Dur digelari sebagai Bapak Pluralisme, karena keberpihakannya pada kelompok kaum minoritas, baik dalam kalangan muslim maupun karena kedekatannya dengan kalangan umat non-muslim seperti umat Kristen, katolik dan etnis tionghoa. Bukan hanya Indonesia saja namun ternyata dunia pun mengakuinya. Meskipun pada realitanya sikap Gus Dur yang memberi teladan perihal pluralisme tersebut tidak serta merta disepakati oleh semua pihak. Karena menghadirkan pro dan kontra tersendiri dari pemikirannya yang sering kontroversi.
            Pola pandang dan sikap yang terus menghargai perbedaan keragaman etnis,budaya, dan agama di Indonesia mash tetap menjadi ciri khas K.H Abdurrahman Wahid mantan orang no satu di Indonesia, kiayi nyentrik ini kembali mengingatkan pentingnya menolok penyeragaman cara pandang, sikap, maupun prilaku dalam beragama dan bernegara di negri ini.
            Sosok Gus Dur memang kontroversial, tetapi dia tetap di puji karena memperjuangkan prulalisme yang berintikan pada semangat memaklumi segala perbedaan untuk kebaikan dan kemajuan bersama, namun karena semangat prulisme ini lah Gus Dur pun di benci oleh beberapa golongan, bahkan Gus Dur di cap sebagai tokoh liberalism-sekulerisme dan di anggap antek yahudi, bahkan yang lebih parah lagi ada yang bilang bahwa Gus Dur itu gila. Golongan yang mengecam Gus Dur itu karena belum mengerti apa yang dimaksud beliau pada gagasan Pluralisme yang dipriotitaskannya, seperti jangan saling mengecam atau bahkan mengkafirkan yang lain[12].
            Dalam banyak hal terkadang Gus Dur memilih bersebrangan dengan umat islam yang lain, seperti ketika ada usulan untuk peraturan yang mewajibkan hukuman mati bagi orang islam yang murtad, Gus Dur menentangnya karena menganggap hal ini hanya akan mengotori nama islam dan melupakan adanya lafadz “ la ikraha fi ad-din” yang artinya tidak ada paksaan dalam agamaPemikiran Gus Dur seperti pluralisme, multikulturalisme dan sekulerisme juga masih menjadi perdebatan hangat di kalangan umat islam. MUI dalam fatwanya mengacam adanya ide sekulerisme, pluralism dan liberalism dengan menyatakan pemikiran yang bertentangan dengan islam. Dalam pemerintahannya Gus Dur telah menghapus praktik diskriminasi di Indonesia, sehingga layak kiranya Gus Dur mendapatkan gelar bapak pluralism dan demokratisasi di Indonesia.
Dalam soal Islam dan kaitannya dengan masalah social budaya, menarik kiranya untuk dikemukakan kritik Gus Dur terhadap gejala yang ia sebut sebagai “Arabisasi”. Kecenderungan semacam itu nampak, misalnya, dengan penamaan terhadap aktivitas keagamaan dengan menggunakan bahasa Arab. Itu terlihat misalnya dengan kebanggaan orang untuk menggunakan kata-kata atau kalimat bahasa Arab untuk sesuatu yang sebenarnya sudah lazim dikenal. 
Gus Dur menunjuk penyebutan Fakultas Keputrian dengan sebutan kulliyatul bannat di UIN. Juga ketidakpuasan orang awam jika tidak menggunakan kata “ahad” untuk menggantikan kata “minggu”, dan sebagainya. Seolaholah kalau tidak menggunakan kata-kata berbahasa Arab tersebut, akan menjadi “tidak Islami” atau ke-Islaman seseorang akan berkurang karenanya. Formalisasi seperti ini, menurut Gus Dur, merupakan akibat dari rasa kurang percaya diri ketika menghadapi “kemajuan Barat” yang sekuler. Maka jalan satu-satunya adalah dengan mensubordinasikan diri ke dalam konstruk Arabisasi yang diyakini sebagai langkah ke arah Islamisasi. Padahal Arabisasi bukanlah Islamisasi.
 Sebenarnya kritik Gus Dur terhadap “Arabisasi” itu sudah diungkapkan pada tahun 1980-an, yakni ketika ia mengungkapkan gagasannya tentang “pribumisasi Islam”. Ia meminta agar wahyu Tuhan dipahami dengan mempertimbangkan faktor–factor kontekstual, termasuk kesadaran hukum dan rasa keadilan nya. Sehubungan dengan hal ini, ia melansir apa yang disebutnya dengan “pribumisasi Islam” sebagai upaya melakukan “rekonsiliasi” Islam dengan kekuatan–kekuatan budaya setempat, agar budaya lokal itu tidak hilang. 
Di sini pribumisasi dilihat sebagai kebutuhan, bukannya sebagai upaya menghindari polarisasi antara agama dengan budaya setempat. Pribumisasi juga bukan sebuah upaya mensubordinasikan Islam dengan budaya lokal, karena dalam pribumisasi Islam harus tetap pada sifat Islamnya. Pribumisasi Islam juga bukan semacam “jawanisasi” atau sinkretisme, sebab pribumisasi Islam hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa merubah hukum itu sendiri. Juga bukannya meninggalkan norma demi budaya, tetapi agar norma-norma itu menampung kebutuhan– kebutuhan dari budaya dengan mempergunakan peluang yang disediakan oleh variasi pemahaman nash, dengan tetap memberikan peranan kepada ushul fiqh dan qâidah fiqh. 
Sedangkan sinkretisme adalah usaha memadukan teologi atau sistem kepercayaan lama, tentang sekian banyak hal yang diyakini sebagai kekuatan gaib berikut dimensi eskatologisnya dengan Islam, yang lalu membentuk panteisme.
            Dalam bukunya “Islamku, Islam anda, Islam kita”(2006), Gus Dur menjadikan pluralism dan pembedaan sebagai kata kunci. Tulisan beliau ini berangkat dari perspektif korban, terutama minoritas agama, gender, keyakinan, etnis, warna kulit, posisi social. Menurutnya Tuhan tak perlu di bela, tapi umat Nya atau manusia haruslah di bela, dan salah satu konsekwensi dari pembelaannya itu adalah kritik dan terkadang harus mengecam jika sudah melewati amabang toleransi. Pemikiran-pemikiran Gus Dur ini diambil dari keputusan Muktamar Nahdathul Ulama (NU) pada 1935. Yag memutuskan menjalankan syariat Islam tapi tidak perlu Negara Islam di Indonesia. Keputusan ini lahir dari pemikiran kakek nya K.H Hasyim Asy’ari dan ayah nya K.H. Wahid Hasyim yang melihat Indonesia sebagai Negara plural.
            Nama Gus Dur yang identic dengan kata prularisme ini menjadi bahan rujukan terutama bagi kaum minoritas dan mereka yag dianggap sebagai ‘liyan’ the other. Gus Dur tak segan melawan arus besar, untuk melindung kaun lemah. Julukan sebagai Bapak Pluralisme ini tidak hanya dikenal di Indonesia, malainkan terkenal di Dunia. Karena Dunia saat ini sedang membutuhkan tokoh-tokoh pluralism dan sebaliknya didominasi oleh tokoh-tokoh yang bersikap eksklusif. Pengakuan Dunia ini terlihat saat Gus Dur menghadiri kongres American jewish committee di Washington, mereka memberi sambutan luar biasa dengan menunjuk menjadi keynote speaker.  Bagi dunia tidak penting perkembangan politik di Indonesia tapi mereka melihat Indonesia sebagai pusat pluralism karena ke tokohan Gus Dur dalam bersahabat dengan semua golongan.
            Gus Dur memang merupakan salah satu penggagas teologi pluralisme yang menghargai perbedaan. Tahun 1970 ketika Gus Dur menjadi mahasiswa, ia seorang pencari kebenaran tanpa henti . ia sangat mengagumi sosok Gamal Abdul Nasr pemimpin nasionalis Mesir, yang membuka peluang pemikiran-pemikiran Islam masuk dan bekembang. Intelektualisme Gus Dur tak hanya terbentuk oleh pengumpulanyya dengan ideology-ideologi modern. Namun ia banyak sekali mempelajari ilmu-ilmu kajian selama petualang annya hingga Universitas McGILL, kanada. Hingga pas ia pulang ke Indonesia Gus Dur bergabung dengan lembaga Penelitian Pendidikan dan Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES) yang dimotori para intelektual muslim muda seperti Dawam Raharjo, Aswab Mahasin, dan Adi Sasono. Gus Dur seringkali mengatakan bahwa yang ia perjuangkan adalah islam berwatak kulturan, bukan islam yang ingin tampil di kelembagaan politik.












BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.     Kesimpulan
Pluralisme dalam pandangan Gus Dur, dalam bukunya Islamku, Islam kita ,Islam Anda. merupakan sebuah konsep dalam memahami Islam. Yakni sebuah wacana baru dalam pemikiran baru yang ada dalam islam di Indonesia. Sebuah konsep untuk mengalang persatuan antar umat beragama, antar suku, antar golongan, antar etnis dengan tampa kekerasan, dan saling mengerti  kebutuhan masing-masing , tampa harus merugikan orang lain itu semua yang beliau dasarkan pada QS: Al-Hujarat:13.

Pluralisme di Indonesia bisa menjadi sebuah kekayaanyang amat berharga, apabila didukung kenyataan hidup damai, toleransi dan harmonis dari umat beragama yang berbada. Gus Dur mencoba meramu konsep perdamaian tadi sehinga menjadi kebiasaan sehari-hari, yang mestinya akan membawa kepada kemanfaatan yang tidak ternilai, yang bisa menjadikan keutuhan NKRI karena saling menghormati dan menghargai antara satu dengan lainnya baik dalam hal agama, suku dan historis asalnya.

B.      Penutup
Amat disadari masih banyak kekurangan dalam penelitian ini, maka kurang pantas kiranya apabila penulis mempersilahkan pembaca untuk memberi sumbangan kritik dan saran, dan semoga kritik dan saran tadi bisa menjadikan tulisan ini lebih baik lagi.













DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam KitaAgama Masyarakat Negara Demokrasi, (The Wahid Institute :Jakarta, 2006)  
Djam’annuri, Agama kita sejarah perfektif Agama-Agana, sebuah pengantar, LCFEI,(Yogyakarta,2002)
M. Bambang pranowo , Islam faktual, atra tradisi dan relasi kuasa (Adi Citra Karya Nusa, yogyakarta, 1999)
Aris Saefullah. Gus Dur VS Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural. laelathinkers, Yogyakarta 2003).
Mundzir Yusuf, Islam Dan Budaya Local, Pokja Akademik UIN Sunan Kali Jaga. Yogyakarta.
Khadziq,Islam Budaya Local Memahami Realist Agama Dan Masyaakat, Teras, Yogyakarta2005.
Anis Malik Thoha, Tren Pluralism Agama Perpektif kelompok, Gema Insane, Jakarta, 2005.
Abdurahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam kita, The Wahid , Jakarta,




[1] Abdurrahman Wahid, Islamku Islam Anda Islam KitaAgama Masyarakat Negara Demokrasi, (The Wahid Institute :Jakarta, 2006)  h.134
[2] Djam’annuri, Agama kita sejarah perfektif Agama-Agana, sebuah pengantar, LCFEI,(Yogyakarta,2002). h.1
[3] Orang beragama itu ada kalanya dengan Hati, Akal dan Rukun
[4] ibid .h 3
[5] M. Bambang pranowo , Islam faktual, atra tradisi dan relasi kuasa (Adi Citra Karya Nusa, yogyakarta, 1999) h 19
[6] Aris Saefullah. Gus Dur VS Amien Rais: Dakwah Kultural-Struktural. laelathinkers, Yogyakarta 2003). Hlm. 65-67
[7] Mundzir Yusuf, Islam Dan Budaya Local, Pokja Akademik UIN Sunan Kali Jaga. Yogyakarta. Hal 30
[8] Khadziq,Islam Budaya Local Memahami Realist Agama Dan Masyaakat, Teras, Yogyakarta2005. Hal 31
[9] Anis Malik Thoha, Tren Pluralism Agama Perpektif kelompok, Gema Insane, Jakarta, 2005. Hal 14
[10] Abdurahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam kita, The Wahid , Jakarta, 2006. Hal 30-34
[11] Abdurahman Wahid, Islamku, Islam anda, Islam kita, The Wahid , Jakarta, 2006. Hal 355-357
[12] Lihat Syi’iran Gus Dur “Akeh kanga pal quran hadise * seneng ngafirke marang liyane”

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Travel dokument dan macam macamnya

Bilingualisme dan Dialogsia

Strategi Pembelajaran Mufrodat