Bilingualisme dan Dialogsia

BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
`     Bilingualitas, Bilingualisme, dan Diglosia merupakan tiga istilah yang dibahas dalam kajian kebahasaan. Dibandingkan diglosia, bilingualitas dan bilingualisme nampaknya lebih populer. Karena di sejumlah literatur, frekuensi pembahasan diglosia tidak sebanyak pembahasan bilingualitas atau bilingualisme. Meskipun  terdapat  buku  yang  khusus  membahas  diglosia,[1]. Ada asumsi yang mengatakan bahwa bahasa-bahasa adalah objek, yang secara ideal diantara objek-objek itu terdapat batas-batas yang jelas. Ini berimplikasi bahwa setiap ucapan dapat dikategorikan pada satu bahasa tertentu. Item-item yang jelas ‘termasuk bahasa lain’ dapat diakomodasikan  dengan istilah ‘bentuk pinjaman’ atau ‘terselip’ melalui interfensi. Asumsi tersebut tidak dapat dipakai lagi, sebab tidak mampu membahas bentuk-bentuk pengalihan antara bahasa-bahasa, sebagai satu gejala umum dalam masyarakat bilingual. Dan implikasinya adalah bahwa tingkah semacam itu membentuk gangguan yang yang mengurangi efesiensi tindak komunikatif dimana pengalihan itu terjadi.  Dari pengalaman hidup di Indonesia, kita tahu bahwa di banyak negara, bahkan banyak daerah dan kota, terdapat orang-orang yang memakai bahasa yang berlainan. Bisa juga terdapat orang-orang yang memakai lebih dari satu bahasa, umpamanya bahasa daerah dan bahasa Indonesia. Suatu daerah atau masyarakat di mana terdapat dua bahasa disebut daerah atau masyarakat yang berdwibahasa atau bilingual, Secara bahasa, bilingualitas, bilingualisme, dan diglosia, sama-sama menunjuk kepada makna “dua bahasa”[2].
Fenomena bilingualisme dan diglosia itu merupakan itu merupakan pokok kajian yang menarik, bukan saja karena aspek teorinya, melainkan juga aspek aplikasinya dalam kenyataan penggunaan bahasa.Contoh-contoh konkrit dapat anda temukan dalam kehidupan anda sehari-hari. Masing-masing fenomena bilingualisme dan diglosia akan dibahas dari segi hakikat atau acuan konseptual dan dari segi profilnya. Bilingualism dan diglosia adalah pokok yang sangat berhubungan, kadang-kadang ada tumpang tindih jika terhadap dua fenomena ini.
Berpijak dari kerangka dasar di atas, maka dalam makalah ini dibahas tentang bilingualisme dan diglosia serta hubungan antara keduanya.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana hakikat bilingualisme?
2.      Bagaimana  hakikat diglosia?
3.      Bagaimana hubungan bilingualisme dan diglosia?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Bilingualisme
Secara bahasa, bilingualitas, bilingualisme, dan diglosia, sama-sama menunjuk kepada makna “dua bahasa”[3]. Namun bilingualitas ada dua kata bahasa Latin, yaitu bi-[4] yang artinya dua, dan lingual (bahasa Perancis: lingua) yang artinya bahasa. Sama halnya dengan diglosia (bahasa Perancis: diglossie) terdiri dari dua kata bahasa Yunani, yaitu di- yang artinya dua dan glossia yang artinya bahasa[5].
Sedangkan secara istilah, bilingualitas dianggap merupakan bagian dari bilingualisme, yang dalam bahasa Indonesia, bilingulitas disebut kedwibahasawanan dan bilingualisme disebut kedwibahasaan, yang keduanya dibedakan dari diglosia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, selain kata bilingualitas, dapat ditemukan kosa kata bilingualisme dan kedwibahasaan. Bilingualisme −menurut kamus tersebut− adalah pemakaian dua bahasa atau lebih oleh penutur bahasa atau oleh   suatu   masyarakat   bahasa.   Sedangkan   kedwibahasaan   adalah     perihal pemakaian atau penguasaan dua bahasa (seperti bahasa daerah di samping bahasa nasional), yang juga disebut dengan bilingualisme.
Menurut Hamers, bilingualitas dan bilingualisme adalah dua konsep yang berbeda. Bilingualitas adalah keadaan psikologis seseorang yang mampu menggunakan dua bahasa dalam komunikasi sosial. Bilingualisme adalah suatu konsep yang mencakup konsep bilingualitas dan juga keadaan yang menggambarkan  terjadinya  kontak Bahasa di  antara sebuah masyarakat    Bahasa tertentu dengan masyarakat bahasa lainnya[6]. Maka dapat dikatakan   bilingualitas adalah fenomena psikolinguistik, sedangkan bilingualisme adalah fenomena sosiolinguistik.
Istilah Bilingualisme (Inggris: Bilingualism), sedangkan (indonesia: kedwibahasaan). Secara harfiah bilingualisme yaitu berkaitan dengan penggunaan dua bahasa atau dua kode bahasa. Sedangkan secara linguistik, secara umum, bilingualisme diartikan sebagai penggunaan dua bahasa oleh seorang penutur dalam pergaulannya dengan orang lain secara bergantian (Mackey 1962: Fishman 1975: 73)[7].  Agar mampu menggunakan bahasa tersebut seorang penutur harus menguasai kedua bahasa itu. Pertama, bahasa ibunya sendiri atau bahasa pertamanya (B1), dan kedua, bahasa lain yang merupakan bahasa keduanya (B2). Seorang penutur yang mampu menggunakan kedua bahasa itu disebut dengan orang yang bilingual (dwibahasawan). Sedangkan kemampuan dalam penggunaan dua bahasa disebut dengan bilingualitas (kedwibahasawanan).
Masalah-masalah yang dibahas dalam bilingualisme (lihat Dittmar 1976: 170):
1.      Taraf kemampuan seseorang dalam menguasai B2-nya agar dapat disebut sebagai orang yang bilingual
Bloomfield dalam bukunya yang terkenal berjudul Language (1933: 56) menyebutkan bahwa bilingualisme yaitu “kemampuan seorang penutur dalam menggunakan dua bahasa dengan sama baiknya”. Namun jarang ditemui ada seorang penutur yang menguasai B1 dan B2 sama baiknya sebab, kalau demikian berarti orang tersebut mempunyai kesempatan yang sama dalam mempelajari dan menggunakannya, padahal dalam situasi biasa pun kesempatan untuk menggunakan B1-nya lebih terbuka daripada B2-nya. Atau sebaliknya, seorang penutur yang telah terlalu lama tinggal dalam masyarakat B2-nya (terlepas dari masyarakat tutur B1-nya) akan mempunyai kesempatan lebih luas untuk menggunakan B2-nya daripada B1-nya. Jadi tetap saja tidak ada kesempatan yang sama dalam menggunakan B1 atau B2. Dengan demikian pengertian tersebut diperluas karena jarang ada seorang penutur yang menguasai kedua bahasa itu dengan sempurna.
Robert Lado (1964: 214) mengatakan bahwa bilingualisme yaitu “kemampuan seorang penutur dalam penggunaan dua bahasa dengan sama baiknya atau hampir sama baiknya, yang mengacu pada pengetahuan dua bahasa bagamanapun tingkatnya”. Jadi tidak perlu sama baiknya dalam penguasaan kedua bahasa itu, kurang pun juga boleh.
Haugen (1961) mengatakan bahwa “ seorang penutur yang mengetahui akan dua bahasa atau lebih disebut dengan bilingual dan seorang bilingual tidak harus aktif dalam menggunakan kedua bahasa itu, tapi cukup memahaminya saja”. Jadi seorang penutur yang mempelajari B2-nya, maka kemampuan B2 tersebut akan selalu ada pada posisi di bawah B1-nya.
Hartman dan Stork (1972:27) menyebutkan bahwa Kedwibahasaan adalah pemakain dua bahasa oleh seorang penutur atau masyarakat ujaran[8].
Adapun batas terendah untuk kedudukan dwiibahasawanan adalah kesanggupan untuk melahirkan tuturan bermakna yang lengkap dalam bahasa lain (Haugen dalam Dil, 1972: 309; Haugen, 1968: 10). Walaupun definisi itu sudah diperluas, tetapi masih ada beberapa tahapan mempelajari bahasa pada taraf permulaan yang tidak dapat dicakup dalam kedwibahasawanan seperti itu. Pada taraf permulaan itu, si pembicara belum mampu melahirkan tuturan bermakna yang lengkap, padahal taraf demikian cukup penting dalam peristiwa kedwibahasawanan. Oleh karena itu syarat kedwibahasawanan diubah lagi dengan pengalaman kontak dengan model-model yang terdapat pada kedua bahasa dan kesanggupan menggunakan model-model itu dalam lingkungan bahasa pertama. Definisi kedwibahasawanan tersebut tidak normatif, dan dapat mencakup baik kemampuan baca tulis, maupun kemampuan bicara dan mendengarkan (lihat Diebold dalam Hymes, 1964: 505)[9].
Pengertian bilingualisme akhirnya merupakan satu rentangan jenjang mulai menguasai B1(tentunya dengan baik karena bahasa ibu sendiri) ditambah tahu sedikit akan B2, dilanjutkan dengan penguasaan B2 yang berjenjang meningkat, sampai menguasai B2 itu sama baiknya dengan penguasaan B1. Kalau bilingualisme sudah sampai tahap ini maka berarti seorang penutur yang bilingual itu akan dapat menggunakan B2 dan B1 sama baiknya, untuk fungsi dan situasi apa saja dan dimana saja[10].
Halliday (dalam Fishman 1968: 141) menyebutkan bahwa seorang bilingual yang dapat menggunakan B2 sama baiknya dengan B1 disebut dengan Ambilingual.Oksaar ( dalam Sebeok 1972: 481) menyebutnya dengan Ekuilingual. Dan Diebold (dalam Hymes 1964: 496) menyebutnya dengan Kordinat Bilingual. Namun, sebagaimana disebutkan di atas bahwa penutur bilingual seperti ini jarang ada.
Dengan demikian dapat diambil kesimpulan, bilingualisme adalah penggunaan, penguasaan atau pemahaman seorang penutur tentang dua bahasa sebagaimana pendapat masing-masing para ahli.
2.      Kedudukan bahasa dengan language dalam bilingualisme
Bloomfield (1933) mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua buah kode. Jadi yang dimaksud bahasa adalah kode, berarti bukan language tetapiparole yang berarti berbagai ragam atau dialek.
Mackey (1962: 12) mengatakan bahwa bilingualisme adalah penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang penutur dengan penguasaan dalam tingkat yang sama. Jadi yang dimaksud bahasa adalah language.
Weinrich (1968: 1) mengatakan bahwa menguasai dua bahasa berarti menguasai dua sistem kode, dua dialek atau ragam dari bahasa yang sama.
Haugen (1968: 10) memasukkan penguasaan dua dialek dari satu bahasa yang sama ke dalam bilingualisme.
Rene Appel (1976: 176) mengatakan dua bahasa dalam bilingualisme ialah termasuk juga dua variasi bahasa.
Jadi, yang dimaksud bahasa dalam bilingualisme itu sangat luas. Jika bahasa dalam pengertian language, seperti bahasa Sunda dan bahasa Madura, sampai berupa dialek atau ragam dari sebuah bahasa, seperti bahasa Jawa dialek Banyumas dan dialek Surabaya.
Jika bahasa dalam pengertian dialek, maka hampir keseluruhan warga Indonesia adalah bilingual, kecuali masyarakat tutur yang anggotanya sedikit, letaknya terpencil dan di dalamnya hanya terdapat satu dialek dari bahasanya.
3.      Penggunaan B1 dan B2 secara bergantian dan penggunaan keduanya secara bebas
B1 digunakan dalam berinteraksi dengan masyarakat yang sama bahasanya dengan penutur tentunya dalam keadaan dan situasi tertentu, seperti dalam percakapan sehari-hari dan dalam topik pembicaraan biasa. Tapi dalam pembelajaran di sekolah-sekolah digunakan bahasa Indonesia yang merupakan B2. Jadi, penggunaan B1 dan B2 tergantung pada lawan bicara, topik pembicaraan dan situasi sosial pembicaraan.
Sedangkan penggunaan B1 dan B2 secara bebas itu hanya berlaku pada masyarakat tertentu tanpa harus memperhatikan lawan bicara, topik pembicaraan dan situasi sosial pembicaraan. Seperti di Montreal, Kanada yang merupakan masyarakat tutur bilingual dengan dua bahasa, yaitu bahasa Inggris dan Perancis yang dapat digunakan secara bebas.
4.      Pengaruh B1 terhadap B2, atau sebaliknya
Hal ini berkaitan dengan kefasihan dalam kefasihan dan kesempatan dalam penggunaan kedua bahasa itu.
Asumsi awal bahwa penguasaan B1 seorang bilingual lebih baik dari pada B2 karena B1 merupakan bahasa ibu yang dipelajari dan digunakan sejak kecil dalam keluarga. sedangkan B2 merupakan bahasa yang baru dipelajari setelah menguasai B1 maka kemungkinan B1 mempengaruhi B2 nya. Seperti orang Indonesia akan lebih menguasai bahasa Indonesia (B1) dari pada bahasa Inggris (B2).
Sedangkan B2 akan mempengaruhi B1 nya jika B1 tidak digunakan dalam waktu yang cukup lama tapi terus menerus menggunakan B2 nya, contoh orang Indonesia yang pindah ke Inggris dan telah lama tidak menggunakan bahasa Indonesia (B1) tapi bahasa Inggris (B2) dalam berkomunikasi maka orang tersebut akan lebih fasih dalam menggunakan B2-nya yaitu bahasa Inggris.
5.      Pemberlakuan bilingualisme pada perseorangan dan kelompok masyarakat tutur
Mackey mengatakan jika bahasa itu milik kelompok atau bersama, maka bilingualisme milik individu-individu penutur, sebab penggunaan bahasa secara bergantian oleh seorang bilingual mengharuskan adanya dua masyarakat tutur yang berbeda, misalnya masyarakat tutur B1 dan B2.
Oksaar (1972: 478) mengatakan bahwa bilingualisme bukan hanya milik individu tapi juga milik kelompok, sebab penggunaannya tidak terbatas antara individu-individu saja melainkan sebagai alat komunikasi antarkelompok. Malah bahasa bukan hanya sebagai alat komunikasi saja tapi juga sebagai alat untuk menunjukkan identitas kelompok (Chaer 1994). dan kelompok di sini tidak dibatasi dalam kelompok orang saja tapi juga berlaku dalam kelompok yang lebih luas seperti negara, seperti di Belgia digunakan dua bahasa Belanda dan Perancis sebagai bahasa resmi negara.
Pembagian kedwibahasanan berdasarkan tipologi kedwibahasawanan, sebagai berikut:
1.      Kedwibahasaan Majemuk (compound bilingualism)
Kedwibahasawaan majemuk yaitu kemampuan berbahasa yang mana penguasaan terhadap bahasa satunya lebih baik dari pada yang lain. Kedwibahasaan ini didasarkan pada kaitan antara B1 dengan B2 yang dikuasai oleh dwibahasawan dan kedua bahasa dikuasai oleh dwibahasawan tetapi berdiri sendiri-sendiri.
2.      Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar
Kedwibahasaan Koordinatif / sejajar yaitu penggunaan dan penguasaan dua bahasa sama-sama baik. Kedwibahasaan seimbang dikaitkan dengan taraf penguasaan B1 dan B2. Orang yang sama mahirnya dalam dua bahasa.
3.      Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks)
Kedwibahasaan Sub-ordinatif (kompleks) yaitu dalam penggunaan B1 sering memasukkan B2 atau sebaliknya. Kedwibahasaan ini dihubungkan dengan situasi yang dihadapi B1. Kelompok B1 Adalah sekelompok kecil yang dikelilingi dan didominasi oleh masyarakat suatu bahasa yang besar sehinga masyarakat kecil ini dimungkinkan dapat kehilanganB1-nya.
Ada beberapa pendapat lain oleh pakar kedwibahasaan dalam tipologi kedwibahasaan antara lain, sebagai berikut:
1.      Baeten Beardsmore (1985:22)
Baeten Beardsmore (1985:22) menambahkankan satu derajat lagi yaitu kedwibahasaan awal (inception bilingualism) yaitu kedwibahasan yang dimemiliki oleh seorang individu yang sedang dalam proses menguasai B2.
2.      Menurut Pohl (dalam Baetens Beardmore, 1985;5)
Tipologi bahasa yang mana lebih didasarkan pada status bahasa yang berlaku dalam masyarakat, maka Pohl membagi kedwibahasaan menjadi tiga bagian, yaitu:
a.       Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism)
Kedwibahasaan Horisontal (horizontal bilingualism) yaitu situasi pemakaian dua bahasa yang berbeda tetapi masing-masing bahasa memiliki status yang sejajar baik dalam situasi resmi, kebudayaan maupun dalam kehidupan keluarga dari kelompok pemakainya.
b.      Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism)
Kedwibahasaan Vertikal (vertical bilinguism) yaitu pemakaian dua bahasa apabila bahasa baku dan dialek, baik yang berhubungan ataupun terpisah, dimiliki oleh seorang penutur.
c.       Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism)
Kedwibahasaan Diagonal (diagonal bilingualism) yaitu pemakaian dua bahasa dialek atau tidak baku secara bersama-sama tetapi keduanya tidak memiliki hubungan secara genetik dengan bahasa baku yang dipakai oleh masyarakat itu.
3.      Menurut Arsenan (dalam Baerdsmore, 1985)
Berdasarkan tipologi bahasa kedwibahasaan dibagi menjadi dua bagian, yaitu:
a. Kedwibahasaan produktif (productive bilingualism) atau kedwibahasaan aktif atau kedwibahasaan simetrik (symmetrical bilingualism) yaitu penggunaan dua bahasa oleh seorang individu terhadap seluruh aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, dan menulis)
b. Kedwibahasaan reseptif (reseptive bilingualism) atau kedwibahasaan pasif atau kedwibahasaan asimetrik (asymetrical bilingualism) yaitu penggunaan dua bahasa dalam aspek mendengar dan berbicara saja.

B.     Diglosia
Fenomena diglosia dalam beberapa masyarakat bahasa, antara lain terjadi pada masyarakat Tanzania, Khalapur, dan Malaysia[11].Kamal Al Hallaj berpendapat “lahirnya diglosia dalam bahasa adalah karena adanya bilingualisme dalam  pikiran dan indra manusia”[12] . Sedangkan menurut ‘Ali ‘Abdul Wahid Wafi’ dalam Al Lugha wa Al Mujatama’, faktor eksternal yang sangat memengaruhi tumbuh dan berkembangnya diglosia itu adalah (1) faktor sosial politik, (2) faktor psikososial, (3) faktor geografis, (4) faktor etnis, dan (5) faktor fisologis[13]. Kata diglosia (Prancis: diglossie) digunakan oleh Marcais seorang linguis Prancis, kemudian istilah ini menjadi terkenal dalam study linguistik C.A. Ferguson (sarjana Stanford University: 1958) dalam simposium “Urbanisasi dan bahasa-bahasa standar) yang diselenggarakan American Anthropologiksl Association di Washington DC. Dan Ferguson menjadikannya lebih terkenal lagi dalam artikelnya yang berjudul “Diglosia” dalam majalah Word (1959). Istilah diglosia digunakan Ferguson dalam menyatakan keadaan suatu masyarakat yang menggunakan dua variasi bahasa dari satu bahasa yang berlaku berdampingan dan masing-masing mempunyai peranan tertentu.
Ferguson memberi pengertian:
1.      Diglosia adalah suatu situasi kebahasaan yang relatif stabil, di mana selain terdapat sejumlah dialek-dialek utama (lebih tepat: ragam-ragam utama) dari satu bahasa terdapat juga sebuah ragam lain.
2.      Dialek-dialek utama itu, di antaranya bisa berupa sebuah dialek standar, atau sebuah standar regional’
3.      Ragam lain (yang bukan dialek-dialek utama) itu memiliki ciri:
a.    Sudah (sangat) terkodifikasi
b.    Gramatikalnya lebih kompleks\
c.     Merupakan wahana kesusastraan tertulis yang sangat luas dan dihormati
d.    Dipelajari melalui pendidikan formal
e.     Digunakan terutama dalam bahasa tulis dan bahasa lisan formal
f.     Tidak digunakan (oleh lapisan masyarakat manapun) untuk percakapan sehari-hari[14].
Jadi, diglosia adalah pembedaan fungsi-fungsi bahasa yang terdiri dari bahasa atau ragam T (Formal) dan bahasa atau ragam R (informal).
Ferguson menjelaskan Diglosia dengan sembilan kriteria/ topik, sebagai berikut:
1.      Fungsi
Fungsi merupakan kriteria yang sangat penting. Ferguson mengatakan bahwa dalam masyarakat diglosis terdapat dua variasi dialek/ ragam dari satu bahasa: pertama,dialek tinggi (disingkat dialek/ ragam T), dan kedua, dialek rendah (disingkat dialek/ ragam R). Contoh: dalam bahasa arab dialek T-nya adalah bahasa Arab klasik, bahasa Al-Quran (al-Fusha), dialek R-nya berbagai bentuk bahasa Arab yang digunakan oleh bangsa Arab (addarij). Bahasa Yunani dialek T-nya adalah bahasa Yunani murni dengan ciri-ciri klasik (katharevusa), dialek R-nya adalah bahasa Yunani lisan (dhimotika). Bahasa Jerman-Swis dialek T-nya adalah Jerman standar, dan dialek R-nya adalah berbagai dialek bahasa Jerman. Di Haiti, dialek T-nya adalah bahasa Prancis, dan dialek R-nya adalah Kreol-Haiti.
Dialek T dan R dalam penggunaannya mempunyai fungsi masing-masing; dialek T digunakan pada situasi resmi atau formal, seperti Kebaktian di Gereja, pembicaraan di parlemen, perkuliahan di Universitas, Siaran berita, puisi dan lain-lain. Sedangkan dialek R digunakan pada situasi informal atau santai, seperti surat pribadi, sandiwara radio, komentar kartun politik dan lain-lain.
2.      Prestise
Prestise dalam masyarakat diglosis para penutur menganggap dialek T lebih bergengsi, lebih superior, lebih terpandang dan merupakan bahasa yang logis. Sedangkan dialek R dianggap sebagai inferior; malah ada yang menolak keberadaannya seperti apa yang dikatakan Ferguson bahwa banyak pelajar Arab dan Haiti menyarankan agar dialek R tidak perlu digunakan meski digunakan dalam percakapan sehari-hari, tentunya hal tersebut ditolak karena merupakan kekeliruan, sebab dialek T dan R mempunyai fungsi masing-masing.
3.      Warisan Kesusastraan
Warisan kesusastraan dalam hal ini terdapat kesustraan yang mana dalam penggunaannya ragam tersebut diihormati oleh masyarakat sebagaimana bahasa yang terdapat dalam keempat negara di atas yaitu, negara-negara berbahasa Arab, bahasa Yunani di Yunani, bahasa Prancis di Haiti dan bahasa Jerman di Swis yang berbahasa Jerman.


4.      Pemerolehan
Ragam T diperoleh melalui pendidikan formal dan memiliki kaidah dan aturan tata bahasa. Sedangkan ragam R diperoleh dari pergaulan sehari-hari dengan keluarga dan teman-teman sepergaulan dan tidak memiliki kaidah atau aturan tata bahasa.
5.      Standardisasi
Ragam T dipandng sebagai ragam yang bergengsi dan dihormati sehingga standardisasi dilakukan dalam ragam tersebut melalui kodifikasi formal. Ragam R tidak pernah diurus sehingga jarang ada kajian tentang ragam tersebut, meskipun ada biasanya dilakukan oleh peniti bahasa lain dan ditulis dengan bahasa lain pula.
6.      Stabilitas
Kestabilan ragam T dan R berlangsung lama dan terdapat variasi bahasa yang dipertahankan eksistensinya. Pengguanaan unsur leksikal ragam T ke dalam ragam R bersifat biasa, tapi sebaliknya penggunaan ragam unsur leksikal ragam R ke dalam ragam T dianggap kurang biasa karena hanya digunakan ketika sangat terpaksa.
7.      Gramatika
Gramatika dalam ragam T adanya kalimat-kalimat komplek dengan jumlah konstruksi subordinasi merupakan hal yang biasa, tetapi dalam ragam R dianggap artifisial. Contoh, Nomina bahasa Prancis disebut agreemant dalam jumlah dan jenis (gender), sedangkan nomina Kreol-Haiti tidak memiliki hal itu.
8.      Leksikon
Besar kosa kata dalam ragam T dan R sama, namun ada ragam T yang tidak memiliki pasangan pada ragam R, begitu juga sebaliknya. Contoh, dalam bahasa Yunani “rumah” ragam T-nya disebut Ikos dan ragam R-nya yaitu Spiti.
9.      Fonologi
Ragam T merupakan sistem dasar yakni lebih dekat dengan bentuk umum yang mendasari dalam bahasa secara keseluruhan, ragam R beragam-ragam yakni jauh dari bentuk-bentuk dasar.
Kemudian Fishman (1972: 92) mengatakan bahwa diglosia tidak hanya berlaku pada adanya perbedaan ragam T dan ragam R pada bahasa yang sama, melainkan juga  berlaku pada bahasa yang sama sekalipun tidak serumpun, atau pada dua bahasa yang berlainan[15]. Jadi diglosia merupakan pembedaan fungsi kedua bahasa atau variasi bahasa yang bersangkutan.
Fasold (1984) mengembangkan konsep diglosia yang disebut dengan broad diglosia(diglosia luas). Meliputi digosia ganda yang dsebut double overlapping diglosia, double-nested diglosia,dan linier polyglosia.
Double overlapping diglosia adalah adanya situasi pembedaan derajat dan fungsi bahasa secara berganda. Contoh, di Tanzania digunakan bahasa Inggris dan bahasa Swahili, pada situasi tertentu bahasa Inggris sebagai ragam T dan ragam R-nya adalah sejumlah bahasa daerah. Pada situasi lain, bahasa Swahili sebagai ragam R dan bahas Inggris sebagai ragan T. Jadi, bahasa Swahili berstatus ganda yaitu sebagai ragam T terhadap bahasa-bahasa daerah dan sebagai R terhadap bahasa Inggris.
Double-nested diglosia adalah keadaan dalam masyarakat multilingual, dimana terdapat dua bahasa yang diperbedakan satu sebagai bahasa T, dan yang lain sebagai bahasa R. Tetapi baik bahasa T maupun bahasa R itu masing-masing mempunyai dialek yang masing-masing juga diberi status sebagai ragam T dan ragam R[16]. Contoh, di Khalapur mempunyai dua bahasa yaitu bahasa Hindi sebagai bahasa T dan bahasa Khalapur sebagai bahasa R. Namun di samping itu kaduanya yakni bahasa Hindi dan bahasa Khalapur sama-sama mempunyai variasi bahasa T dan variasi bahasa R. Bahasa Khalapur memiliki dua variasi bahasa yaitu Moti bolisebagai ragam R dan Saf boli sebagai ragam T. Bahasa Hindi juga memiliki dua variasi bahasa yaitu variasi dalam percakapan biasa (conversational style) sebagai ragam R dan variasi dalam ceramah-ceramah formal (oratorical style sebagai ragam T.
Lynier polyglosia yaitu suatu negara yang memiliki berbagai macam bahasa yang mana masing-masing bahasa tersebut sama-sama memiliki ragam T dan ragam R masing-masing. Contoh, di Cina memiliki Bahasa Inggris Malaysia formal sebagai T1, bahasa Malaysia sebagai T2, bahasa Mandarin sebagai DH (bahasa atau variasi bahasa yang memiliki signifikansi dalam masyarakat hampir secara eksklusif pada variasi tinggi tetapi tidak digunakan dalam masyarakat untuk segala tujuan, memiliki sedikit pengetahuan dan mengandung prestise), bahasa Inggris Malaysia informal sebagai M1 (menengah pertama), bahasa Cina yang dominan sebagai M2 ( menengah kedua), bahasa Cina asli sebagai R1, bahasa-bahasa Cina lain sebagai R2, dan bahasa Melayu Bazar/ informal sebagai R- (derajat subrendah).

C.      Hubungan Bilingualisme dan Diglosia
Ada empat jenis hubungan antara bilingualisme dan diglosia, sebagai berikut:
1.      Bilingualisme dan diglosia, yaitu hampir setiap orang mengetahui ragam atau bahasa T dan ragam atau bahasa R. Contoh, di Paraguay bahasa Guarani digunakan sebagai bahasa R dan bahasa Indo Eropa sebagai bahasa T, dan keduanya sama-sama digunakan sesuai fungsi masing-masing.
2.      Bilingualisme tanpa diglosia, yaitu terdapat terdapat sejumlah individu yang bilingual tapi tidak membatasi penggunaan satu bahasa untuk satu situasi dan bahasa yang lain untuk situasi yang lain. Contoh, diglosia masyarakat di Montreal dan Kanada.
3.      Tidak bilingualisme dan diglosia, yaitu awalnya bilingualisme dan diglosis tapi berubah menjadi bilingualisme tanpa diglosia karena sifat diglosisnya bocor dan variasi bahasa merembes ke dalam fungsi yang dibentuk untuk variasi atau bahasa lain. Contoh, di mana R sebelum ada T adalah di Belgia yang berbahasa Jerman. Kemudian terjadi peralihan ke bahasa Prancis dari bahasa Jerman berlangsung disertai dengan meluasnya bilingualisme.
4.      Tidak bilingualisme dan tidak diglosia, yaitu terdapat dua penutur yang pertama terdiri dari kelompok lebih kecil (ruling group) yang hanya berbicara dalam bahasa T. Dan kedua yang lebih besar dan tidak memiliki kekuasaan dalam masyarakat yaitu berbicara dalam bahasa r. Contoh, pada satu periode sejarah Czar Rusia, para bangsawan berbicara dalam bahasa Prancis dan masyarakat Rusia yang lebih luas berbicara dalam bahasa Rusia.
Dari keempat pola masyarakat kebahasaan di atas yang paling stabil hanya dua, yaitu (1) diglosia dan bilingualisme, dan (2) diglosia tanpa bilinguslisme, keduanya berkarakter diglosia, sehingga perbedaannya adalah terletak pada bilingualisme.








BAB III
PENUTUP

A.    Kesimpulan
            Bilingualisme adalah kebiasaan penggunaan dua bahasa atau lebih dalam masyarakat bahasa.  Berdasarkan kemampuan penuturnya bilingualisme dapat dibagi atas dua kategori yakni: Bilingualisme setara(coordinate bilingualism) adalah bilingualisme yang terjadi pada penutur yang memiliki penguasaan secara relatif sama. Dalam bilingualisme demikian, ada proses berpikir yang konstan(tidak mengalami kerancuan) pada bahasa yang dikuasi dan sedang digunakan. Dan bilingualisme majemuk(compound bilingualism) adalah bilingualisme yang terjadi pada penutur yang mengalami proses berpikir pada seorang bilingual yang bersifat rancu atau kacau dan menggunakan bahasa yang tidak sama.
Diglosia adalah fenomena penggunaan bahasa yang dipertimbangkan pada fungsinya.Diglosia terjadi baik pada masyarakat monolingual maupun bilingual.Pada masyarakat monolingual diglosia adalah penggunaan ragam bahasa sesuai dengan pertimbangan fungsi setiap ragam.Sedangkan diglosia dalam masyarakat bilinguall adalah penggunaan tidak hanya pada penggunaan ragam, tetapi juga penggunaan bahasa sesuai dengan fungsinya.
Hubungan antara bilingualisme dan diglosia terletak pada titik temu dan titik pisah.Hubungan titik temu berupa beradanya atau tidak beradanya bilingualism dan diglosia.Sedangkan hubungan titik pisah berdasarkan beradanya salah satu fenomena atau tidak adanya salah satu fenomena. Ada empat tipe hubungan bilingualisme dan diglosia yaitu : (1) diglosia dan bilingualisme, (2) tipe bilingualisme tanpa diglosia, (3) tipe diglosia tanpa bilingualisme , dan (4) tipe tanpa diglosia dan tanpa bilingualisme.
B.     SARAN
Dengan membaca makalah ini penulis berharap agar para pembaca dapat mengambil hikmah sehingga bisa bermanfaat. Dan tentunya, penulis sadari bahwa dalam makalah ini terdapat banyak kelemahan. Dengan demikian, suatu kegembiraan kiranya jika terdapat banyak kritik dan saran dari pembaca sebagai bahan pertimbangan untuk perjalanan ke depan.




DAFTAR PUSTAKA
Al Salih Ibrahim " ھذان المصطلحان بالترجمة الحرفية يحم ن نفس المعنى وھو لغتان" Izdiwajiyya Al Lughah
Chaer, Abdul dkk. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Emil Badi’ ya’kub, Fiqh Al Lughah, dalam Mesrianty, Tesis: Diglosia Dalam Bahasa Arab Perspektif Sosial Budaya, Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2010,
Josiane F. Hamers dan Michel H. A. Blanc, Bilinguality and Bilingualism, Second Edition, Cambridge: Cambridge University Press, 2000,
Ibrahim Salih Al Falay, Izdiwajiyya Al Lugha: Al Nazhariyya wa Al Tatbiq, Al Riyadh: Jami’a Al Malak Su’ud, 1996. Rusyana Rus. Bahasa dan Sastra dalam gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro, 1984.




[1] Lihat: Ibrahim Salih Al Falay, Izdiwajiyya Al Lugha: Al Nazhariyya wa Al Tatbiq, Al Riyadh: Jami’a Al Malak Su’ud, 1996.
[2]Lihat: Al Salih Ibrahim " ھذان المصطلحان بالترجمة الحرفية يحم ن نفس المعنى وھو لغتان" Izdiwajiyya Al Lugha..., H. 81.
[3] Lihat: Al Salih Ibrahim " ھذان المصطلحان بالترجمة الحرفية يحم ن نفس المعنى وھو لغتان" Izdiwajiyya Al Lugha..., H. 81.
[4] Bi- adalah number prefix (awalan yang menunjukkan bilangan/angka) yang terdapat dalam  bahasa  Inggris  dan  beberapa  bahasa  di  Eropa,  yang  diserap  dari  bahasa  Latin,   yangmenunjukkan ‘dua’. Sama dengan di- yang diserap dari bahasa Yunani yang berarti ‘dua’.  Semakna dengan dwi- yang diserap oleh bahasa Indonesia dari bahasa Sansekerta.
[5] Lihat: Ibrahim Salih Al Falay, Izdiwajiyya Al Lugha: Al Nazhariyya wa Al Tatbiq, Al Riyadh: Jami’a Al Malak Su’ud, 1996. Hal 81
[6] Lihat: Josiane F. Hamers dan Michel H. A. Blanc, Bilinguality and Bilingualism, Second Edition, Cambridge: Cambridge University Press, 2000, H. 6.
[7] Chaer, Abdul dkk. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Hal, 84
[9] Rusyana Rus. Bahasa dan Sastra dalam gamitan Pendidikan. Bandung: CV Diponegoro, 1984. Hal, 27
[10] Chaer, Abdul dkk. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Hal, 87
[11] Lihat: Ibrahim Salih Al Falay, Izdiwajiyya Al Lugha: Al Nazhariyya wa Al Tatbiq, Al Riyadh: Jami’a Al Malak Su’ud, 1996. Hal 33
[12] Emil Badi’ ya’kub, Fiqh Al Lughah, dalam Mesrianty, Tesis: Diglosia Dalam Bahasa Arab Perspektif Sosial Budaya, Jakarta: Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah, 2010, H. 127
[13] Lihat: Mesrianty, Tesis: Diglosia..., H. 128-129.
[14] Chaer, Abdul dkk. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Hal, 93.
[15] Chaer, Abdul dkk. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Hal, 98
[16] Chaer, Abdul dkk. Sosiolinguistik Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Hal, 100

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Travel dokument dan macam macamnya

Strategi Pembelajaran Mufrodat