Hukuman melanggar di pesantren

Nama               : M. Ali Mashudi 
TTL                 : Bojonegoro, 09 September 1994
Domisili           : Pondok Pesantren Bumi Damai Al Muhibbin Tambakberas Jombang
        No Tlp              : 085852645409
        Facebook          : Kene kene hudi
            M. Ali Mashudi Lahir di Bojonegoro dia menyeleseikan TK (1998-2000) dan Sekolah Dasar (2000-2006) di kampung halamannya desa tegalkodo kecamatan sukosewu kabupaten bojonegoro, kemudian saya meneruskan sekolah menengah pertama di MTs Miftahul Ulum Sitiaji (2006-2009) sebelum akhirnya nyantri di APondok Pesantren Abu Dzarrin Kendal Dander Bojonegoro sekaligus Madrasah Aliyah Abu Dzarrin (2009-2012) disana, Lulus dari MA bojonegoro saya meneruskan di pondok pesantren Bumi Damai Al Muhibbin Tambakberas Jombang sambil kuliah di IAIBAFA (Institut Agama Islam Bani Fattah) tahun 2012-2016. Sekarang saya masih aktif di pondok pesantren Bumi Damai Al Muhibbin Tambakberas, sambil meneruskan kuliah S2 nya di STAIN Kediri.
Hukuman melanggar di pesantren
            Aku mempunyai tiga teman yang sangat akrab di pesantren, namaku ali umurku 17 tahun, aku masih sekolah di Madrasah Aliyah kelas XI ipa, , kata teman-temanku aku adalah orang yang paling lucu diantara teman-temanku, sebab wajahku masih unyu-unyu, lugu dan menyenangkan hati mereka. Ke tiga temanku itu namanya Rohman, Rizal dan Uun, kami semua satu pesantren dan satu geng kami semua juga satu kelas, keculi Uun yang masih Tsanawiyah kelas VIII. Kami terus bersama-sama menjalankan rutinitas sebagai seorang santri setiap hari, sholat berjamaah, mengaji serta mengikuti kegiatan wajib lainya seperti; diba’an, barzanji, burdahan, manaqiban dsbg.
            Namun ketiga temanku itu mempunyai karakter yang berbeda, sebut saja Rohman santri sal lamongan dia tidak tampan, tapi manis dia juga sempat mempunyai pacar namun putus karena dia suka sekali melanggar aturan dari pacarnya, jangankan aturan sang pacar aturan pondokpun dia terjang para keamanan pun dia lawan, sebab dia berprinsip “kami tidak mau di atur tapi kami menaati peraturan”, dia-lah yang sering mengajak aku, uun dan rizal melanggar peraturan peantren.
Temanku yang ke dua namanya rizal, dia dari surabaya, dia tidak tampan juga, namun anhnya banyak santri putri yang kenal dengannya, mungkin karena dia pintar disekolah dan sering ikut rapat osis di sekolah putri, dialah yang paling pintar diantara teman-temanku, yang jarang sekali ikut bolos sekolah, karena dia berprinsip “melanggar itu boleh asal tidak ketahuan, karena ketahuanlah melanggar itu jadi tidak boleh.”
Temanku yang ketiga namanya uun dia dari bojonegoro, dia tampan tapi tidak hobi berkenalan dan mengoleksi cewek, dia-lah yang sering membelikan kami bertiga kopi, rokok bahkan makan, karena memang dia yang paling banyak kiriman uangnya diantara kami, ibunya bekerja di luar negri, jadi setiap kali uun meminta kiriman uang pasti langsung di transfer oleh ibunya, karena dia adalah anak kesayangan, dia juga berprinsip “yang penting hapy hari ini meskipun uangnya pas-pasan, besoknya kita cari lagi.”
            Waktu itu kamis malam jum’at yang mana kegiatannya adalah membaca diba’, kami ber-empat pergi meninggalkan pesantren bersama-sama, karena malam jum’at kegiatannya tidak absenan seperti malam-malam lainnya, kegiatannya pun kami jarang dilibatkan sebagai orang yang membaca, kami hanya mendengarkan itulah yang menyebabkan kami bosan dan keluar mencari angin segar.
Malam itu kami pergi ketempat yang sekiranya jauh dari jangkauan pengurus keamanan, supaya kami aman dan tenang dalam melanggar peraturan.
Kita ke warungnya pak sabar aja gimana ???  suara rizal mengajak.
Kalau ke warungnya pak sabar banyak yang tahu zal, soalnya itu sudah menjadi pengawasan keamanan dan pengurus pondok. Kemarin aja ada yang tertangkap disana sedang melanggar, “kataku kurang setuju”
Coba kita jelajahi saja desa sebelah, mungkin ada warung yang bisa kita buat untuk nyantai dan menikmati alam sekitar, “ucap rohman”
Wah aku setuju dengan rohman saja, lumayan kan bisa dapat pengalaman dan tempat baru untuk basecame, “lanjut uun sambil semangat menyakinkan kami”.
            Akhirnya kami memutuskan untuk menjelajahi desa sebelah, kami melewati sawah-sawah untuk sampai di desa sebelah dengan diiringi nuansa suara katak, jangkrik, dan burung hantu, kami agak sedikit takut karena malam itu sangat gelap, mencengkam dan menjadikan semua orang yang lewat berdebar-debar karena jarang sekali orang yang melewati jalanan itu. Tanpa terasa sampailah kami didesa sebelah, ternyata desanya sangat ramai dan banyak sekali warung-warung disana, sampai kami bingung memilih mana warung yang tepat.
Warung Qohwah, adalah warung yang kami pilih, mengapa ?, sebab warungnya ramai di situ berkumpul banyak sekali golongan-golongan tua, muda, besar, kecil bersatu meramaikan warung itu. Yang menjaga seorang perempuan janda beranak dua, meskipun begitu kami tidak ada yang berani bersu’udzon padanya, sebab di pesantren kami diajarkan untuk selalu berhusnudzon pada siapapun, meskipun orang itu dalam bentuk fisiknya tidak baik.
Kami pun meminta tikar untuk duduk lesehan sambil memesan kopi :
Aku berkata    : bu, pesan kopi hitam empat sama rokok wismilak satu bungkus.
Ibu menjawab : iya nak ini rokoknya, kopinya nanti dulu ibu buatkan.
Karena kelihatan orang asing aku langsung ditanya oleh salah seorang pembeli.
Baru pertama ngopi disini dek, penjual itu memandangku sambil bertanya
Enggeh pak, “jawabku sambil agak ketakutan”.
Sampean asalnya dari mana le, “desah pembeli itu”.
Dari sukowati pak, saya mondok di abu dardjan.
Ini dek kopinya silahkan diambil, “suara si penjual kopi memotong pembicaraan kami”.
Iya bu, makasih, “segera ku ambil kopinya dan aku berkata pada bapak pembeli itu, monggo pak.
            Suasana malam dibawah bulan yang bersinar kami meluapkan kegembiraan sambil bercerita tentang pengalaman masing-masing, tertawa saling melecehkan satu sama lain. tanpa sadar kami bercanda ria sambil tertawa lepas sampai larut malam.
rohman mengatakan “sekarang sudah jam 23.00 wib ayo kita kembali kepondok”. Kami pun terdiam sambil memperhatikan lampu senter sepeda motor yang mendekat kearah kami, ternyata dia pak rofiq seorang ketua keamanan pondok, karena menghormati penjual dan pembeli kopi beliau hanya mencatat nama kami saja untuk dihukum di pondok, tidak dihukum langsung ditempat kami melanggar.
            Karena takut akhirnya kami pun memutuskan menyerahkan diri dengan kembali ke pesantren, kami sudah ditunggu oleh keamanan di depan pintu gerbang pondok, dimasukkanlah kami diruangan Non-AC, gelap dan ditakuti semua santri yaitu kantor keamanan. Alangkah kagetnya kami ketika semua keamanan sudah berkumpul dan menunggu kedatangan kami.
Pak rofiq seorang ketua keamanan yang ditakuti semua santri membuka pertanyaan untuk kami.
Dari mana saja kalian, sampai tidak mengikuti kegiatan malam jum’ah ? “tanya pak rofiq”
Ngopi pak, (gemetar)“jawabku mewakili teman-temanku yang sama sama ketakutan”
Pak rofiq pun mengambil tongkatnya dan memuku badan kami “sambil berkata “ kok enak sekali, siapa yang mengajari kalian seperti ini ? mau meniru siapa kalian disini ? apa guru dan kyai sampean yang mengajarkan ini ?”
Kami semua terdiam tidak berani menjawab sepatah kata pun, karena kami sadar bahwa kami salah. Setelah mengakui kesalahan-kesalahan yang kami lakukan, kami pun disuruh melepaskan pakaian taqwa yang kami pakai kemudian menuju ke arah tambak milik gus saif.

Pak rofiq pun menyuruh kami melompat masuk ke tambak milik gus saif, malam itu pukul 23.30 wib kami ber empat pun menjalani hukuman mandi di tambak malam itu juga, sambil mengawasi dari atas pak rofiq pun menyuruh kami menyelam dengan memasukkan kepala kami ke dasar air biar seluruh badan kami tidak kelihatan, kami pun menaati apa yang di suruh pak rofiq, sebab kalau kami tidak melakukan itu kepala kami akan dilempari batu oleh beliau. Hukuman itu terjadi sampai jam 03.30 wib waktu itu saat tarhim sedang berkumandang di mushola pondok kami, sambil berkaos dan bersarung basah kami pun di suruh naik untuk meninggalkan tambak. Karena kami sangat kelelahan, kami berfikir hukuman sudah selesai serta kami pun boleh mandi, membersihkan diri dan ganti baju. Namun pak rofiq kembali menyuruh kami berdiri di depan mushala sampai anak-anak pondok bangun dari tidur untuk melakukan sholat subuh, betapa malunya kami ketika adzan subuh di kumandangkan para santri pun bangun dengan melihat pemandangan empat orang berdiri dengan kaos dan sarung yang basah serta wajah yang pucat, tubuh yang menggigil karena kedinginan, semua santri bersorak ria untuk mengejek kami habis-habisan. Namun hukuman itu lah yang menjadikan kami sadar akan kesalahan itu semakin di ulangi akan semakin menjadikan kita bodoh dan tidak berkembang, akhirnya setelah hukuman itu kami pun kapok untuk melanggar peraturan pondok lagi.      

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Travel dokument dan macam macamnya

Bilingualisme dan Dialogsia

Strategi Pembelajaran Mufrodat