Metode memahami Hadist Nabi SAW

PENDAHULUAN
Pada saat ini, saat di mana peradaban dan kebudayaan menuju ke arah kemodernan yang ditandai dengan munculnya teknologi yang serba canggih, mulai dari sains sampai pada teknologi informatika. Agama Islam, sesungguhnya mendapatkan ujian berat. Di satu pihak, Islam sebagai agama universal dan diklaim sebagai pengatur selurh aspek kehidupan, dituntut untuk selalu relevan dengan kemodernan tersebut.
Untuk itu muncul pertanyaan, memadaikah pendekatan yang selama ini berkembang di kalangan ulama atau pemikir untuk memahami Islam, terutama dalam hal al-Hadits, agar senantiasa sejalan dan mampu memberikan penyelesaian terbaik terhadap persoalan umat manusia yang senantiasa terus berkembang ? Pertanyaan inilah yang antara lain mendorong para pemikir untuk mencari pendekatan-pendekatan baru untuk memahami Islam dari sumber Al-Hadist. Hadist merupakan sumber ajaran Islam yang kedua setelah sumber yang pertama yaitu Al-quran. Dengan kata lain hadist dapat berbentuk ucapan, pengalaman, taqrir, serta hal-hal ihwal (penting) dari Nabi Muhammad[1]. Beberapa ulama berpendapat bahwa hadist adalah segala sesuatu yang dinisbatkan pada Nabi saw meliputi perkataan, perbuatan, atau ketetapan, termasuk sifat Khuluqiyah dan Khalqiyyah baik sebelum diutus menjadi rasul maupun sesudah diutus menjadi rasul. Definisi tersebut anut dan diyakini oleh ulama ahli hadistt, dengan asumsi bahwa Nabi saw adalah Uswatun Hasanah, artinya segala sesuatu yang datang berasal dari Nabi layak dijadikan untuk teladan hidup. Sedangkan ulama ushul fiqh berkata lain, tidak semua yang dinisbatkan kepada Nabi saw dapat disebut sebagai hadist. Hadist atau sunnah adalah segala yang keluar dari Nabi, selain Al-quran  baik berupa ucapan, perbuatan atau ketetapan yang layak dijadikan dalil untuk hukum syar`i[2].
Makalah ini akan difokuskan pada metode pemahaman hadist Nabi yang mencakup : 
1.      Apakah metode pemahaman hadist Nabi ?
2.      Berapakah Metode-metode dalam memahami Hadist Nabi ?


PEMBAHASAN
A.    Metodologi Pemahaman Hadist Nabi
Kata metode berasal dari bahasa Yunani yaitu “methodos” yang berarti jalan atau cara. Dalam bahasa Inggris kata ini dilutis method, sedangkan bangsa Arab menerjemahkannya dengan tariqat dan manhaj. Dalam bahasa Indonesia metode memiliki arti cara teratur yang digunakan untuk melasanakan suatu pekerjaan agar tercapai sesuai dengan yang dikehendaki; cara kerja yang bersistem untuk memudahkan pelaksanaan suatu kegiatan guna mencapai tujuan yang ditentukan.[3] Metodologi berasal dari bahasa Yunani methodos yang berarti cara atau jalan, logos artinya ilmu. Kata metodologi dalam KBBI diartikan sebagai ilmu tentang metode atau uraian tentang metode[4].
Pemahaman (syarh), kata syarh berasal dari bahasa Arab yaitu  syaraha-yasruhu-syarhan yang artinya menerangkan, membukakan, melapangkan. Istilah syarh (pemahaman) biasanya digunakan untuk hadist, sedangkan tafsir untuk kajian Al-quran. Dengan kata lain, keduanya sama-sama (menjelaskan maksud, arti, pesan), namun secara istilah keduanya berbeda. Tafsir, spesifik bagi Al-quran (menjelaskan maksud, arti, kandungan atau pesan ayat-ayat Al-quran), istilah syarh (syarah) meliputi hadist (menjelaskan maksud, arti, kandungan atau pesan hadist) dan ilmu lainnya[5]. Metodologi pemahaman (syarh) hadist adalah ilmu tentang metode memahami hadist. Sehingga dapat dibedakan bahwa metode syarh hadist : cara-cara memahami hadist, sedangkan metodologi syarh ilmu tentang cara memahami hadist tersebut. Metode yang digunakan dalam pensyarahan hadist ada tiga yaitu metode tahlili, metode ijmali, dan metode muqarin. Adapun untuk melihat kitab dari bentuk pensyarahan, digunakan teori bentuk syarh bil al-ma`sur dan syarh bi al-ra`yi. Untuk menganalisis corak-corak kitab digunakan teori kategorisasi dalam bentuk syarh fiqhy, falsafy, sufy, atau lughawi.[6]
Pemahaman hadist merupakan bagian dari kritik matan, kritik matan merupakan bagian dari kritik hadist. Kritik hadist atau naqd Al-Hadist atau penelitian hadist Nabi terdiri dari kritik sanad atau al-naqd al-kharijil (kritik ekstern) dan kritik matan atau al-naqd al-dakhili (kritik intern). Dibandingkan kritik sanad, kritik matan memiliki kesulitan yang lebih besar. Menurut Shalah Al-Din Al-Adlabi menyatakan bahwa kesulitan dalam kritik matan disebabkan pada beberapa faktor yaitu : 1) langkanya kitab-kitab yang membahas kritik matan dan metodenya, 2) pembahasan matan hadist pada kitab-kitab tertentu termuat di berbagai bab yang bertebaran sehingga sulit dikaji secara khusus, dan 3) adanya keraguan di kalangan ahli hadist untuk mengklaim sesuatu sebagai bukan hadist padahal hadist, demikian juga sebaliknya[7].
Aliran-aliran pemahaman hadist, dalam memahami hadist Nabi secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok, yaitu (1) kelompok yang lebih mementingkan makna lahiriyah teks hadist disebut Ahl Al-Hadist, tekstualitas (2) kelompok yang mengembangkan penalaran terhadap faktor-faktor yang berada di belakang teks disebut Ahl-Al-Ra`yi.[8]
Ahl Al-Hadist, telah muncul sejak masa genarasi sahabat, dengan berbagai persoalan kehidupan yang belum kompleks. Kelompok ini berpegang pada arti lahiriyah nash, karena dalam pandangan mereka kebenaran Al-quran bersifat mutlak, sedangkan kebenaran rasio adalah nisbi. Sesuatu yang nisbi tidak mungkin dapat menjelaskan sesuatu yang mutlak. Mereka dijuluki dengan Ahl Al-Hasyw artinya enggan menggunakan akal. Mereka juga mengabaikan sebab-sebab terkait yang berada di sekeliling teks. Dalam kultur yang masih relatif dekat dengan Nabi, dampaknya belum begitu terlihat, sebab perubahan yang signifikan dalam budaya dan gesekan antara kebudayaan lokal dan luar belum terlalu terasa. Namun ketika hadist telah melintasi banyak generasi dan lintas kultural serta berhadapan dengan berbagai kemajuan ilmu pengetahuan berimbas pada semakin kompleksnya persoalan kehidupan.[9]
Ahl Al-Ra`yi, memahami persoalan secara rasional dengan tetap berpegang teguh kepada nash Al-quran dan Al-Hadist. Tidak jarang mereka mengorbankan hadist ahad yang bertentangan dengan Al-quran. Kelompok ini mempertahankan akal dalam mengembangkan konsep-konsep seperti mashlahah dan istihsan, serta mengutamakanqiyas dari pada teks-teks yang bersifat hipotetik.karena qiyas  menurut mereka didasarkan pada qarinah  dan hukum-hukum kulliyah (universal), yang kemudian disebut dengan tujuan umum (maqashid al-syari`ah).[10]
B.     Metode-Metode Pemahaman (syarh) Hadist
1.      Metode Tahlily (Analitis)
a.       Pengertian
Secara etimologi kata “tahlili” berasal dari kata حلل – يحلل - تحليلا[11] yang berarti [12] فكحا ونقضها: menguraikan, menganalisis[13].
Adapun secara terminologi metode pemahaman hadis secara tahlily adalah memahami hadis-hadis Rasul dengan memaparkan segala aspek yang terkandung dalam hadis tersebut, serta menjelaskan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pen-syarh yang memahami hadis-hadis tersebut.
Model pen-syarh-an hadis dengan metode ini biasanya seorang pen-syarh dalam menyajikan penjelasan atau komentar mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis yang di-syarh-nya. Pen-syarh memulai penjelasannya dari  kalimat demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut mengandung berbagai aspek yang terdapat dalam hadis, seperti kosakata, konotasi kalimatnya, latar belakang turunnya hadis, kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-pendapat yang beredar sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari para sahabat, tabi’in, maupun ulama hadis.
b.      Ciri-Ciri Metode Tahlily
Secara umum kitab-kitab syarh yang menggunakan metode tahlily biasanya berbentuk ma’tsur (riwayat) atau ra’yu  (pemikiran rasional). Syarh yang berbentuk ma’tsur ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari sahabat, tabi’in, atau ulama hadis dalam memberikan penjelasan terhadap hadis yang di-syarh. Sementara syarh yang berbentukra’yu banyak di dominasi oleh pemikiran rasional pen-syarh-nya.
Jika sebuah kitab syarh hadis menggunakan metode syarh tahlily, dapat diketahui dengan melihat beberapa ciri-ciri khusus yang terdapat dalam kitab tersebut, diantara ciri-ciri tersebut ialah:
a.                       Alam pen-syarh-an, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan asbab al-wurȗd dari hadis-hadis yang dipahami jika hadis tersebut memiliki asbab  al-wurȗd-nya.
b.                       Memaparkan dan menguraikan pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat, tabi’in, dan para ahli syarh hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
c.                       Menjelaskan munasabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadis lainnya.
d.                      Kadangkala pen-syarh-an diwarnai dengan kecenderungan pen-syarh pada salah satu mazhab tertentu, sehingga menimbulkan adanya berbagai corak pen-syarah-an, seperti corak fiqhy dan corak lainnya yang dikenal dalam bidang pemikiran Islam.
Contoh Metode Hadist Tahlili :
حدثنا الحميدي عبد الله بن الزبير قال حدثنا يحيى بن سعيد الأنصاري قال أخبرنـي محمّدابن إبراهيم التيمي أنه سمع علقة بن وقاص الليثي يقول سمعت عمر بن الخطاب رضي الله عنه على الـمنبر قال سمعت رسول الله صلّى الله عليه و سلّم يقول إنّما الأعمال بالنّيات و إنّما لكلّ امرئ ما نوى فمن كانت هجرته الى دنيا يصيبها أو إلى امرأة ينكحها فهجرته إلى ما هجر إليه.
قوله حدثنا (الحميدي (هو أبو بكر(عبد الله بن الزبير) بن عيسى منسوب إلى حميد بن أسامة بطن من بني أسد بن عبد العزى بن قصي رهط خديجة زوج النّبي صلّى الله عليه و سلّم يجتمع معها في أسد ويجتمع مع النّبي صلّى الله عليه وسلّم في قصي وهو إمام كبير مصنف رافق الشافعي في الطلب عن بن عيينة وطبقته و أخذ عنه الفقه و رحل معه إلى مصر ورجع بعد وفاته ‘لى مكة ‘لى أن مات بها سنة تسع عشرة و مائتين فكأن البخاري امتثل قوله صلّى الله عليه و سلّم قدموا قريشا فافتتح كتابه بالرواية عن الحميدي لكونه أفقه قرشي أخذ عنه و له مناسبة أخرى لأنه مكي كشيخه فناسب أن يذكر في أول ترجمة بدء الوحي لأن ابتداءه كانبمكة ومن ثم ثنى بالرواية عن مالك لأنه شيخ أهل المدينة وهي تالية لمكة في نزول الوحي و في جميع الفضل و مالك و ابن عيينة قرينان قال الشّافعي لولاهما لذهب العلم من الحجاز قوله (حدثنا سفيان) هو ابن عيينة بن أبي عمران الهلالي أبو محمد المكي أصله و مولده الكوفة و قد شارك مالكا في كثير من شيوخه و عاش بعده عشرين سنة وكان يذكر أنه سمع من سبعين من التّابعين قوله (عن يحي بن سعيد) حدثنا يحي بن سعيد (الأنصاري) اسم جده قيس بن عمرو و هو صحابي و يحي من صغار التّابعين و شيخه(محمد بن إبراهيم) بن الحارث بن خالد(التيمي) من أوساط التّابعين…والله اعلم.

Diantara kitab-kitab syarh hadis yang menggunakan metode syarh tahlily adalah:
1.      Kitab Fath al Bȃrȋ bi Syarh Shahȋh al-Bukhȃry oleh Ibnu Hajaral Atsqalany
2.      Irsyȃd al-Sȃrȋ li Syarh Shahȋh al-Bukhȃry oleh Al-Abbas Syihab ad Din Ahmad bin Muhammad al Qastalani.
3.      Al-Kawȃkib ad-Darȃr ri fi Syarh Shahȋh al-Bukhȃry oleh Syams ad Din Muhammad bin Yusuf bin Ali al Kirmani.
4.      Syarh al-Zarqȃni ‘ala Muwatta’ al Imam Malik oleh Muhammad bin Abd al Baqi’ bin Yusuf al-Zarqani.
c.       Kelebihan Metode  Tahlily 
Metode Syarh Tahlili memiliki kelebihan dibanding metode syarh lainnya, kelebihan yang dimiliki metode ini antara lain:
a.                      Ruang lingkup pembahasan yang sangat luas, karena metode ini mencakup berbagai aspek pembahasan, seperti pembahasan makna kata, kalimat, asbab wurud hadis, serta munasabah hadis dengan hadis lainnya.
b.                      Memuat berbagai ide dan gagasan. Syarh dengan metode tahliliy ini memberikan kesempatan yang luas kepada pen-syarh untuk mencurahkan ide-ide dan gagasan dalam syarh hadis. Ini menunjukkan bahwa pola pen-syarh-an metode ini dapat menampung berbagai ide pen-syarah. Dengan dibukanya pintu bagi pen-syarh untuk mengemukakan pemikiran-pemikiranya dalam mensyarh hadis, maka lahirlah kitabsyarh yang berjilid-jilid.
d.      Kekurangan Metode Tahlily
Selain memiliki kelebihan dibanding metode lain, ternyata metode ini juga memiliki beberapa kekurangan. Adapun kekuarangan metode ini adalah:
a.                        Menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial atau terpecah-pecah, sehingga terasa seakan-akan hadis memberikaan pedoman secara tidak utuh dan tidak konsisten, karena syarh yang di berikan pada suatu hadis berbeda dari syarh yang diberikan pada hadis-hadis lain yag sama, karena kurang memperhatikan hadis-hadis lain yang mirip atau sama dengannya[14].
b.                       Melahirkan syarh yang subyektif. Konsekuensi logis dari metode tahlily adalah terbuka lebarnya faktor subjektifitas, karena metode ini tidak memberikan arahan ataupun batasan yang jelas supaya tidak terjerumus kepada pensyarhan yang keliru. Terlebih pada pen-syarh yang cendrung pada ra’yi, subjektifitas akan kelihatan amat kentara. Pen-syarh-annya begitu kental diwarnai oleh aliran theology, mazhab tertentu, dan latar belakang pen-syarh. Seperti pen-syarh-an yang dilakukan Ibnu Hajar di atas, terkesan dipengaruhi oleh sikap subyektifnya sebagai ulama hadis tanpa memberikan pendapat yang harus dipegang sesuai dengan data yang terdapat dalam kitab yang di-syarh
2.      Metode Ijmali (Global)
a.       Pengertian
          Ijmaliy secara etimologis berarti global. Sehingga syarh ijmali diartikan syarh global. Secara terminologis metode syarh ijmali adalah menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat dalam kitab hadis yang akan di-syarh  secara ringkas, tetapi dapat merepresentasikan makna literal hadis, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami[15]. Jika dibandingkan dengan metode tahliliy. metode ini tidak berbeda dalam menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam kitab hadis, namun dalam memberikan penjelasan, metode ini sangat mudah dipahami oleh pembaca, baik dari kalangan intelek maupun orang awam, karena uraian penjelasanya ringkas dan tidak berbelit-belit.
b.      Ciri-ciri Metode Ijmali
Adapun ciri-ciri kitab syarh hadis yang menggunakan metode ijmali adalah:
1.                Pen-syarh langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir secara globaltanpa perbandingan.
2.                Penjelasan yang diberikan bersifat umum dan sangat ringkas.
3.                Pada hadis tetentu diberikan penjelasan yang luas, tapi tidak seluas penjelasan dengan metode tahliiy.
Contoh Hadist Metode Ijmali :
)غسل يوم الجمعة واجب) قال الخطابي معناه وجوب الاختيار و الاستحباب دون وجوب الفرض كما يقول الرجل لصاحبه حقك علي واجب وأنا أوجب حقك و ليس ذلك بمعنى اللزوم و الذي لا يسع غيره ويشهد لصحة هذا التأويل حديث عمر الذي تقدم ذكره انتهىز قال ابن دقيق العيد في شرح عمدة الأحكام ذهب الأكثرون إلى استحباب غسل الجمعة و هم محتاجون إلى الأعتذار عن مخالفة هذا الظاهر وقد أولوا صيغة الأمر عل الندب و صيغة الوجوب على التأكيد كمايقال إكراماك على واجب وهو تأويل ضعيف إنما يصار إليه إذا كان المعارض راجحا على هذا الظاهر وأقوى ماعارضوابه هذا الظاهر حديث من توضأ يوم الجمعة فيها ونعمت ومن اغتسل فالغسل أفضل ولايعارض سنده سند هذه الأحادث انتهى (على كل محتلم) أي بالغ وإنما ذكر الإحتلام لكونه الغالب وتفسيره بالبالغ مجاز لأن الإحتلام يستلزم البلوغ والقرينة الماسة عن الحمل على الحقيقة أن الإحتلام إذا كان معه انزال موجب للغسل سواء كان يوم الجمعة أم لا. ذكره الزرقاني قال المنذري و أخرجه البخاري و مسلم والنسائي وابن ماجه.
Diantara kitab-kitab syarh hadis yang menggunakan metode syarh ijmali adalah:
1.         Syarh as-Suyȗhiy li as Sunan an Nasȃ’i oleh Jalal ad Din as Suyuthi.
2.         Qut al -Mughtazi ‘Ala Jami’ at Turmuzi oleh Jalal ad Din as Suyuthi.
3.         ‘Aun al Ma’bud Syarh Sunan Abi Dawud oleh Muhammad bin Asyraf bin Ali Haidaras Siddiqi al ‘Azim al Abadi.
c.       Kelebihan dan Kekurangan Metode Ijmali 
Metode ijmali juga mempunyai kelebihan dan kekurangan, sebagaimana halnya metodetahlili.
1.      Kelebihan Metode Ijmali
Adapun kelebihan kitab hadis yang menggunakan syarh secara ijmali adalah:
a.       Praktis dan padat. Metode ini terasa lebih praktis dan singkat, sehingga dengan mudah dapat diserap oleh pembacanya.
b.      Bahasa mudah dipahami. Pensyarh langsung menjelaskan kata atau maksud hadis dengan tidak mengemukakan ide atau pendapatnya , secara pribadi.
c.       Bebas dari israiliyyat. Karena singkatnya penjelasan yang diberikan, metode ijmaliyrelatif lebih murni dan terbebas dari pemikiran-pemikiran israiliyyat. Metode ini juga dapat membendung pemikiran-pemikiran yang terlalu jauh dari pemahaman hadis.
d.      Akrab dengan bahasa hadis. Uraian yang dimuat dalam metode ini singkat dan padat.
2.      Kekurangan Metode Ijmali
Diantara kekurangan pen-syarh-an hadis yang dilakukan dengan metode ijmali ini adalah:
a.                      Menjadikan petunjuk hadis parsial. Metode ini tidak mendukung pemahaman hadis secara utuh dan dapat dijadikan petunjuk hadis bersifat parsial, tidak terkait satu dengan yang lain, sehingga hadis yang bersifat umum atau samar tidak dapat diperjelas dengan hadis yang sifatnya rinci.
b.                      Tidak ada ruang untuk menggunakan analisis yang memadai. Metode ini tidak menyediakan ruang yang memuaskan berkenaan dengan wacana pluralitas pemahaman suatu hadis. Oleh karena itu, metode ijmali tidak bisa diandalkan untuk menganalisis pemahaman secara detail.
3.      Metode Muqaran (Komparatif)
a.       Pengertian
       Kata muqaran merupakan masdar dari kata 
قارن – يقارن – مقارنة[16]  yang berarti perbandingan atau komparatif[17]. Jadi, syarh muqaran secara etimologis berarti syarhperbandingan atau pen-syarh-an yang dilakukan dengan membandingkan dua hal. Adapun pengertian syarh muqarin secara terminologis adalah metode memahami hadis dengan cara:
1.      Membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama, dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus yang sama.
  1. Membandingkan berbagai pendapat ulama syarh dalam men-syarh hadis.
Jadi, metode ini dalam memahami hadis tidak hanya membandingkan hadis dengan hadis lain, tetapi juga membandingkan pendapat para ahli syarh dalam men-syarh hadis. Metode ini diawali dengan menjelaskan pemakaian mufradat (suku kata), urutan kata, kemiripan redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi, maka langkah-yang ditempuh sebagai berikut :
a.                          Mengidentifikasi dan menghimpun hadis yang redaksinya bermiripan
b.                          Memperbandingkan antara hadis yang redaksinya mirip tersebut, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu redaksi yang sama.
c.                          Menganalisa perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan itu mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan kata dan susunannya dalam hadis, dan sebagainya.
d.                         Memperbandingkan antara berbagai pendapat para pen-syarh tentang hadis yang dijadikan objek bahasan.
Contoh Hadist Metode Muqorrin :
قد حصل من الطرق المذكورة أربعة ألفاظ "إنما الأعمال بالنيات" و" الأعمال بالنية" و "العمل بالنية" وادعى النووي في تلخيصه قلتـهاز والرابع "إنـما الأعمال بالنية" وأورده القضاعي في الشهاب بلفظ "الأعمال بالنيات" بحذف "إنما" و الحافظ أبو موسى الأصبـهاني: لا يصح إسنادها,وإقره النووي على ذلك في تلخيصه وغيره,وهو غريب منهما,وهي رواية صحيحة أخرجها ابن حبان في صحيحه...و أورده الرافعي في شرحه الكبير بلفظ آخر غريب وهو "ليس للمرء من عمله إلا نواه"....وفي البيهقي في حديث آخر مرفوعا"لا عمل لـمن لا نية له....لكن اسناده جهالة.
....الأول: احتجت الأئمة الثلاثـة في وجوب النية في الوضوء والغسل فقالوا: التقدير فيه صحة الأعمال بالنيات والألف و اللام فيه لاستغراق الجنس,فيدخل فيه جميع الأعمال من الصوم و الصلاة و الزكاة و الوضوء...ومن الثاني أن النيات إنما تكون مقبولة إذا كانت مقرونـة بالإخلاص انتهي. وذهب أبو حنيفـة و أبو يوسف و محمد و زفر والنواوي والأوزاعي و الحسن بن حي ومالك في رواية إلى أن الوضوء لا يحتاج إلى نية,وكذلك الغسل. و زاد الأوزعي و الحسن التيمم.وقال عطاء ومجاهد: لا يحتاج صيام رمضان إلى نية إلا أنيكون مسافرا أو مريضا...
...الثاني احتجت به أبو حنيفة و مالك وأحمد في أن من أحرم بالحج في غير أشهر الحج أنه لا ينعقد عمرة لأنـه لم ينوها فإنما له مانواه,وهو أحد أقوال الشافعي,إلا أن الأئمة الثلاثة قالوا: ينعقد إحرامه بالحج ولكنـه يكره,ولم يخـتلف قول الشافعي أنـه لا ينعقد بالحج...
...الثالث: احتجت به مالك في اكتفائه بنية واحدة في أول شهر رمضان...

Diantara kitab-kitab syarh hadis yang menggunakan metode muqaran adalah:
1.      Shahȋh Muslim bi Syarh an-Nawȃwiy oleh Imam Nawawi
2.      Umdah al Qȃrȋ’ Syarh Shahȋh al-Bukhȃri oleh Badr ad Din  Abu Muhammad Mahmud bin Ahmad .
b.      Ciri-Ciri Metode Muqaran
Metode ini mempunyai beberapa ciri-ciri yang membedakannya dengan metode lainnya. Adapun ciri-ciri dari metode ini adalah:
1.      Pen-syarh menggunakan perbandingan analisis redaksional
2.      Pen-syarh menggunakan perbandingan penilaian perawi.
3.      Pen-syarh membandingkan kandungan makna dari masing-masing hadis yang dibandingkan.
4.      Membandingkan berbagai hal yang yang dibicarakan oleh hadis tersebut.
5.      Pen-syarh harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan timbulnya perbedaan tersebut, seperti asbab al wurud, pemakaian kata, dan susunannya, konteks masing-masing hadis tersebut muncul dan sebagainya. Meskipun yang dibandingakan hadis dengan hadis, pensyarh perlu pula meninjau pendapat yang dikemukakannya berkenaan dengan hadis itu.
Ciri utama dari metode ini adalah perbandingan, yakni membandingkan hadis dengan hadis, dan pendapat ulama syarh dalam mensyarh hadis.
c.       Kelebihan dan Kekurangan Metode Muqaran 
1.      Kelebihan Metode Muqaran
Di antara keungulan metode muqaran ini dari metode-metode lainnya adalah:
a.       Memberikan wawasan pemahaman yang relatif lebih luas kepada pembaca.
Dengan melakukan pen-syarhan melalui metode ini akan terlihat bahwa suatu hadis dapat ditinjau dari berbagai disiplin ilmu, sesuai dengan keahlian pen-syarh-nya. Dengan demikian, terasa bahwa hadis itu tidaklah sempit, melainkan sangat luas dan dapat menampung berbagai ide dan pendapat.
b.      Membuka pintu untuk bersikap toleran.
Metode ini membimbing kita untuk selalu bersikap toleran terhadap pendapat orang lain yang terkadang jauh berbeda atau bahkan kontradiktif dari pendapat kita. Dengan demikian, dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan pada suatu mazhab atau aliran tertentu, sehingga pembaca akan terhindar dari sikap eksrim yang dapat merusak persatuan dan kesatuan umat. Hal ini dimungkinkan karena pen-syarh-an dengan metode muqaran ini memberikan berbagai alternatif pemikran.
c.       Pemahaman dengan metode muqaran sangat berguna bagi mereka yang ingin mengetahui berbagai pendapat tentang sebuah hadis.
d.      Pen-syarah didorong untuk mengkaji berbagai hadis serta pendapat-­pendapat para pen-syarah lainnya.
2.      Kekurangan Metode Muqaran
Di antara kekurangan atau kelemahan metode muqaran adalah:
a.       Metode ini tidak relevan bagi pembaca tingkat pemula, karena pembahasan yang dikemukakan terlalu luas sehingga sulit untuk menentukan pilihan.
b.      Metode muqaran ini tidak dapat diandalkan untuk menjawab problema-problema sosial yang sedang tumbuh di tengah masyarakat. Hal ini disebabkan karena metode ini lebih mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah.
c.       Metode muqaran ini terkesan lebih banyak menelusuri pemahaman-pemahaman yang pernah diberikan oleh ulama dari pada mengemukakan pendapatnya sendiri atau pendapat-pendapat baru, sehingga akan menghasilkan sintesis baru yang belum ada sebelumnya.
4.      Metode Maudhȗ’î (tematik)
a.              Pengertian
Secara bahasa kata maudhu’i berasal dari kata موضوع  yan merupakan isim fail dari kata wadha’a yang artinya masalah atau pokok permasalahan[18]. Secara etimologi, katamaudhu’i yang terdiri dari huruf و ض ع  berarti meletakkan sesuatu atau merendahkannya, sehingga kata maudhu’i merupakan lawan kata dari al-raf’u (mengangkat)[19]. Mustafa Muslim berkata bahwa yang dimaksud maudhu’i adalah meletakkan sesuatu pada suatu tempat. Maka, yang dimaksud dengan metode maudhu’i adalah mengumpulkan ayat-ayat yang bertebaran dalam al-Qur’an atau hadis-hadis yang bertebaran dalam kitab-kitab hadis yang terkait dengan topik tertentu atau tujuan tertentu kemudian disusun sesuai dengan sebab-sebab munculnya dan pemahamannya dengan penjelasan, pengkajian dan penafsiran dalam masalah tertentu tersebut. 
Menurut al-Farmawi, Metode maudhȗ’iy adalah mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan satu topik atau satu tujuan kemudian disusun sesuai dengan asbȃb al-wurȗd dan pemahamannya yang disertai dengan penjelasan, pengungkapan dan penafsiran tentang masalah tertentu. Dalam kaitannya dengan pemahaman hadis pendekatakan tematik (maudhȗ’iy) adalah memahami makna dan menangkap maksud yang terkandung di dalam hadis dengan cara mempelajari hadis-hadis lain yang terkait dalam tema pembicaraan yang sama dan memperhatikan korelasi masing-masingnya sehingga didapatkan pemahaman yang utuh[20].
Sedangkan Arifuddin Ahmad mengatakan bahwa metode maudhȗ’i adalah pensyarahan atau pengkajian hadis berdasarkan tema yang dipermasalahkan, baik menyangkut aspek ontologisnya maupun aspek epistemologis dan aksiologisnya saja atau salah satu sub dari salah satu aspeknya”[21]. Metode maudhu’î sebagai salah salah satu metode tidak hanya berlaku dalam pemahaman al-Qur’an melainkan juga dapat diterapkan dalam pemahaman hadis.
Dilihat dari sisi metodologis, metode maudhȗ’îy hadis merupakan pengembangan dari penyelesaian ikhtilȃf al-hadȋts. Hanya saja dalam metode maudhȗ’î ini dalam proses pemahaman kasus atau tema tertentu melibatkan semua hadis yang setema atau berhubungan dengan hadis. Kemudian penyelesaian ikhtilȃf  hadis sesuai dengan namanya, hanya pada kasus-kasus yang memperlihatkannya perbedaan makna hadis. Sementara metode hadismaudhȗ’î  lebih luas lagi, mencakup semua kasus yang tidak terlihat adanya ikhtilaf didalamnya.ini dilakukan untuk menemukan makna subtansial dari setiap kasus hadis yang dibahas dan dianalisis. Jadi metode maudhu’î hadis yaitu suatu metode menghimpun hadis-hadis shahih yang topik pembahasanya sama. Dengan demikian, hal-hal yang syubhat dapat di jelaskan dengan hal-hal yang muhkam. Hal-hal yang mutlaq dapat di batasi dengan hal yangmuqqayad (terikat) dan hal-hal yang bermakna umum dapat ditafsirkan oleh hal-hal yang bermakna khusus , sehingga makna yang di maksud oleh subjek tersebut menjadi jelas dan tidak bertentangan.
Dengan demikian, dalam metode tematik ini diperlukan usaha mencari hadis-hadis lain yang terkait, semakin banyak hadis yang terkait ditemukan , maka peluang untuk mendapatkan pemahaman yang komprehensif penjelasan Rasul tentang suatu persoalan akan semakin tinggi.
b.              Ciri-ciri metode maudhȗ’iy
1.      Menghimpun hadis-hadis yang membicarakan satu topik tertentu atau permasalahan tertentu
2.      Memahami makna dari masing-masing hadis
3.      Memahami hadis secara komprehensif dengan menggunakan pendekatan tematik.
Berdasarkan penjelasan di atas, metode tematik ini  harus memenuhi beberapa unsur yaitu:
1.      Menentukan topik atau judul yang akan dikaji
2.      Mengumpulkan hadis-hadis yang terkait dengan topik yang telah ditentukan
3.      Melakukan pensyarahan atau pengkajian sesuai dengan tema
4.      Memilih salah satu atau seluruh aspek ontologis, epistemologis dan aksiologis yang terkait dengan tema. 
Sedangkan langkah-langkah pengkajian hadis dengan metode tematik ini antara lain dapat dilakukan dengan: 
1.      Menentukan tema atau masalah yang akan dibahas
2.      Menghimpun atau mengumpulkan data hadis-hadis yang terkait dalam satu tema, baik secara   lafaz maupun secara makna melalui kegiatan takhrȋj al-hadȋts
3.      Melakukan kategorisasi berdasarkan kandungan hadis dengan memperhatikan kemungkinan perbedaan peristiwa wurud-nya hadis (tanawwu’) dan perbedaan periwayatan hadis.
4.      Melakukan kegiatan i’tibar dengan melengkapi seluruh sanad
5.      Melakukan penelitian sanad yang meliputi penelitian kualitas pribadi perawi, kapasitas intelektualnya dan metode periwayatan yang digunakan.
6.      Melakukan penelitian matan yan meliputi kemungkinan adanya ‘illat (cacat) dan syȃdz (kejanggalan).
7.      Mempelajari tema-tema yang mengandung arti serupa
8.      Membandingkan berbagai syarah hadis
9.      Melengkapi pembahasan dengan hadis-hadis atau ayat-ayat pendukung
10.  Menyusun hasil penelitian menurut kerangka besar konsep.
11.  Menarik suatu kesimpulan dengan menggunakan dasar argumentasi ilmiah[22].
c.                   Kelebihan metode maudhȗ’îy
a.    Sebagai di maklumi, hadis-hadis yang banyak dalam setiap kasus,sebagai dampak riwayat dengan makna atau cara rekam sahabat yang berbeda ataupun boleh jadi akibat penyampaian hadis yang berulang oleh Rasulullah.  Memperlihatkan keragaman lafal atau redaksi-redaksi yang beragam, meskipun dari satu sisi merupakan pencetus kerumitan pemahaman,tetapi pada sisi lain merupakan kekayaan informasi yang memungkinkan para analisis untuk dapat melihat hadis dari segala sisi yang dimungkinkan oleh varian data. Ada hadis tertentu dalam kasus tertentu dan dalam riwayat tertentu memperlihatkan teks yang pendek. Sementara dalam riwayat lain dan kasus yang sama menampakan teks yang panjang. Kadangkala satu hadis oleh periwayatnya ikut merekam latarbelakang sejarah atau asbȃbwurȗd al-hadȋts, sementara pada hadis yang lain tidak di temukan tambahan informasi seperti itu. Dengan mempertimbangkan semua hadis yang ada dalam satu kasus, antara satu dan hadis lain dapat mendukung, tidak saja dalam penguatan sumber (kesahihan hadis) melainkan juga dalam kejelasan makna.
b.    Dengan pelibatan semua hadis dalam kasus tertentu, para analisis dengan pendekatan induktif dapat menemukan makna jami’ atau kully dari sejumlah hadis. Dalam pembahasan hadis jami’ di jelaskan bahwa dalam hadis tertentu terdapat lafal yang bermakna jami’. Lafalyang benuansa jami’ dapat menjadi primis mayor dan dengan pendekatan deduktif di kembangkan kepada kasus-kasus yang berhubungan, seperti yang terlihat pada hadis khamar.
c.    Membuat pemahaman menjadi utuh. Dengan ditetapkannya judul-judul pembahasan yang akan dibahas, membuat pembahasan itu sempurna dan utuh, maksudnya penampilan tema suatu masalah serara utuh tidak terpisah-pisah bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui pandangan-pandangan hadis tentang suatu masalah.
d.             Kekurangan metode maudhȗ’iy
a.      Memenggal hadis, maksudnya adalah metode ini mengambil satu kasus di dalam satu hadis atau lebih yang mengandung berbagai permasalahan.
b.      Membatasi pembahasan hadis, dengan adanya penetapan judul di dalam pemahaman hadis, maka dengan sendirinya berarti membuat suatu permasalahan menjadi terbatas (sesuai dengan topiknya). 
Demikianlah empat corak metode pemahaman hadis yang telah dipersembahkan ulama kepada kita, meskipun demikian hal tersebut bukanlah sesuatu yang final, karena kajian dan telaah hadis tetap sangat diperlukan dalam upaya memahami dan menangkap makna kandungan hadis secara komprehensif, sehingga hadis selalu terbuka untuk dapat dikaji dengan berbagai pendekatan dan metode baru sehingga nilai ruhiyah hadis Rasulullah selalu menjadi pencerah dan pedoman bagi umat manusia. Jadi, tidak menutup kemungkinan akan terlahirnya beberapa metode baru setelah ini seiring dengan berkembangnya ilmu pengetahuan, karena hadis merupakan sumber pokok kedua hukum Islam setelah al Qur’an yang tak lepas dari berbagai kajian dan penelitian. Wallâhul musta’ân, wa huwa ‘A’lam bi as Shawâb.

KESIMPULAN

Metodologi pemahaman (syarh) hadist adalah ilmu tentang metode memahami hadist. Sehingga dapat dibedakan bahwa metode syarh hadist : cara-cara memahami hadist, sedangkan metodologi syarh ilmu tentang cara memahami hadist tersebut.
Metode yang digunakan dalam pensyarahan hadist ada tiga yaitu metode tahlili, metode ijmali, dan metode muqarin. Adapun untuk melihat kitab dari bentuk pensyarahan, digunakan teori bentuk syarh bil al-ma`sur dan syarh bi al-ra`yi. Untuk menganalisis corak-corak kitab digunakan teori kategorisasi dalam bentuk syarh fiqhy, falsafy, sufy, atau lughawi









DAFTAR PUSTAKA
Nizar Ali, Memahami Hadist Nabi : Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta : CESaD YPI Al-Rahmah, 2001)
Abdul Mustaqim, dkk., Paradigma Integrasi Interkoneksi dalam Memahami Hadist, (Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008)
Tim Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta : Balai Pustaka: 2005)
Selengkapnya lihat pada Nizar Ali, (Ringkasan Disertasi), Kontribusai Imam Nawawi Dalam Penulisan Syarh Hadis, (Yogyakarta, 2007)
Shalah Al-Din Al-Adlabi, Manhaj Nadq Al-Hadis (Beirut: Dar Al-Afaq Al-Jadilah, 1403 H/1983) 
Suryadi dalam bukunya yang berjudul, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta : Teras, 2008),
Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta : Teras, 2008)
Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi`i : Modernisme, Elektisme, Arabisme, terjemah. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta : LkiS, 1997)
Ibnu Manzhur, Lisȃn al ‘Arab. (Cairo: Dar al Ma’arif, 1119)
Ibid lihat juga, Mu’jam al Wajȋz. (Kairo: Jumhuriyah Mishr al ‘Arabiyah, 2003)
Rusydi AM, ‘Ulum al Qur’an II. (Yayasan Azka Padang: IAIN IB Press, 2004)
Mu’jam al Wajȋz. (Kairo: Jumhuriyah Mishr al ‘Arabiyah, 2003)
Ahmad Warson Munawwir,al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,(Surabaya : Pustaka Progressif, 1997)
Abu al-Husain Ahmad ibn Fahris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah , (Bairut: Dar al-Fikr, tth.)
Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis. (Padang:  hayfa Press, 2008)
Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis , (Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin Makassar)
Muhammad Yusuf, Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadis, ( Yogyakarta: Sukses Offset,2008)



[1] Nizar Ali, Memahami Hadist Nabi : Metode dan Pendekatan, (Yogyakarta : CESaD YPI Al-Rahmah, 2001), h. 1
[2] Abdul Mustaqim, dkk., Paradigma Integrasi Interkoneksi dalam Memahami Hadist, (Yogyakarta : Bidang Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, 2008), hal. 2-3
[3] Tim Penyusun KBBI, Kamus Besar Bahasa Indonesia,  (Jakarta : Balai Pustaka: 2005), h 740
[4] Ibid. h, 741
[5] Khamdan, dkk., Studi Hadis..., h. 73
[6] Selengkapnya lihat pada Nizar Ali, (Ringkasan Disertasi), Kontribusai Imam Nawawi Dalam Penulisan Syarh Hadis, (Yogyakarta, 2007), h. 4
[7] Shalah Al-Din Al-Adlabi, Manhaj Nadq Al-Hadis (Beirut: Dar Al-Afaq Al-Jadilah, 1403 H/1983), hal. 20-23 yang dikutip oleh Suryadi dalam bukunya yang berjudul, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta : Teras, 2008), h. 69
[8] Suryadi, Metode Kontemporer Memahami Hadis Nabi, (Yogyakarta : Teras, 2008), h. 73.
[9] Ibid, hal. 74
[10] Lihat Nasr Hamid Abu Zayd, Imam Syafi`i : Modernisme, Elektisme, Arabisme, terjemah. Khoiron Nahdliyyin, (Yogyakarta : LkiS, 1997), h. 48-51.
[11] Ibnu Manzhur, Lisȃn al ‘Arab. (Cairo: Dar al Ma’arif, 1119), h. 978
[12] Ibid lihat juga, Mu’jam al Wajȋz. (Kairo: Jumhuriyah Mishr al ‘Arabiyah, 2003), h. 168
[13] Rusydi AM, ‘Ulum al Qur’an II. (Yayasan Azka Padang: IAIN IB Press, 2004), h. 74
[14] Ibid, H 80
[15] Pengertian diambil dari metode pemahaman tafsir ijmali
[16] Mu’jam al Wajȋz. (Kairo: Jumhuriyah Mishr al ‘Arabiyah, 2003), h. 168
[17] Rusydi AM, Op. Cit, H. 88
[18] Ahmad Warson Munawwir,al-Munawwir Kamus Arab-Indonesia,(Surabaya : Pustaka Progressif, 1997), h. 1565
[19] Abu al-Husain Ahmad ibn Fahris ibn Zakariya, Mu’jam Maqayis al-Lugah , (Bairut: Dar al-Fikr, tth.), juz. 2 h. 218.
[20] Maizuddin, Metodologi Pemahaman Hadis. (Padang:  hayfa Press, 2008), h. 13
[21] Arifuddin Ahmad, Metode Tematik dalam Pengkajian Hadis , (Makassar: Rapat Senat Luar Biasa UIN Alauddin Makassar) h. 4.

[22] Muhammad Yusuf, Metode & Aplikasi Pemaknaan Hadis, ( Yogyakarta: Sukses Offset,2008), h. 27-29

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Travel dokument dan macam macamnya

Bilingualisme dan Dialogsia

Strategi Pembelajaran Mufrodat