Teori Ilmiah Filsafat Ilmu

BAB I
PEMBAHASAN
A.    Latar belakang
Filsafat dan ilmu pengetahuan dalam pendidikan memang bisa dirasakan dengan jelas keikutsertaannya menjadi penerang dan pemberi alternatif, sejalan dengan perkembangan masyarakat, Sejarah filsafat dan ilmu pengetahuan telah mencatatkan bahwa para teoritisi telah melompati pagar skolastik mereka (ekspansif) akibat kemajuan filsafat ilmu itu sendiri menuju panggilan moral keilmuan. Mereka dan teori-teorinya menjadi mahaguru atau steering committe bagi proyek-proyek rekayasa sosial yang didesain oleh aparat birokrasi atau suprastruktur kekuasaan dengan intervensi dari dalam terhadap prinsip-prinsip ideologis partai-partai. Masing-masing teori mengembangkan perspektif, demikian pula metode-metodenya. Pengembangan mereka masing-masing sesungguhnya tidak saling mematahkan, pun juga tidak saling mendukung. Namun teori-teori tersebut dengan segala pernik-perniknya tetap bungkam berhadapan dengan realitas-realitas yang tengah dikrubuti modernisme, sebagai akibat diintegrasikannya sistem dengan dunia kehidupan dalam kerangka teoritis dan metodenya. Jadi mau tidak mau sebuah cara berfikir yang teoritispun sangat dibutuhkan untuk menghadapi kemajuan-kemajuan dalam berbagai aspek kehidupan. Yang dalam setiap zaman dan massanya telah berevolusi dari berbagai macam aliran dan teori kritis dengan munculnya teori kritis lainnya dengan dipelopori oleh pendapat banyak madzab yang mempengaruhinya.
Banyak sekali madzhab yang mempengaruhi munculnya teori kritis, salah satu madzhab yang menjadi penggerak teori kritis adalah madzhab Frankfurt, dimana mereka merupakan sekelompok intelektual asal jerman yang merupakan Institut yang terdiri dari kombinasi intelektual dari berbagai macam disiplin, mulai dari teologi sampai filsafat[1].
B.     Rumusan masalah
a.       Apa pengertian Teori kritis ?
b.      Apa tujuan dan karakteristik teori kritis ?
c.       Apa macam-macam Teori Kritis ?
d.      Bagaimana hubungan teori kritis dengan pendidikan ?

BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Teori Kritis
Istilah Teori kritis pertama kali ditemukan Max Hokheimer pada tahun 30-an. Awalnya teori kritis berarti pemaknaan kembali gagasan-gagasan ideal modernitas berkaitan dengan nalar dan kebebasan. Pemaknaan ini dilakukan dengan mengungkap deviasi dari gagasan-gagasan ideal tersebut dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis.
Untuk memahami pendekatan teori kritis, tidak bisa tidak, harus menempatkannya dalam konteks Idealisme Jerman dan kelanjutannya. Karl Marx dan generasinya menganggap Hegel sebagai orang terakhir dalam tradisi besar pemikiran filosofis yang mampu ”mengamankan” pengetahuan tentang manusia dan sejarah. Namun, karena beberapa hal, pemikiran Marx mampu menggantikan filsafat teoritis Hegel. Menurut Marx, hal ini terjadi karena Marx menjadikan filsafat sebagai sesuatu yang praktis, yakni menjadikannya sebagai cara berpikir (kerangka pikir) masyarakat dalam mewujudkan idealitasnya. Dengan menjadikan nalar sebagai sesuatu yang ’sosial’ dan menyejarah, skeptisisme historis akan muncul untuk merelatifkan klaim-klaim filosofis tentang norma dan nalar menjadi ragam sejarah dan budaya forma-forma kehidupan.
Dan dapat diartikan sebagai teori yang menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus-menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada. Teori kritis menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat. Dengan tetap memertahankan penekanan terhadap normativitas dalam tradisi filsafat, teori kritis mendasarkan cara bacanya dalam konteks jenis penelitian sosial empiris tertentu, yang digunakan untuk memahami klaim normatif itu dalam konteks kekinian.
Teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik borjuis[2]. Teori kritis merupakan sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan Aristoteles, Foucault, Gadamer, Hegel, Marx, Kant, Wittgenstein  di Institut Penelitian Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas. Dalam pengertian umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang ”dilahirkan” di Frankfurt.
Teori  kritis bertujuan menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menerapkan metode reflektif dengan cara mengkritik secara berkelanjutan terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada dan tidak kondusif untuk pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Ciri khas Teori Kritis berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pada intinya pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Pada titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris, dan  tidak hanya menjelaskan, mempertimbangkan, merefleksikan dan menata realitas sosial tetapi teori tersebut juga mengubah.
Esensi  Teori Kritis pada dasarnya adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-struktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik. Perkembangan sifat politis pengetahuan ini dipengaruhi oleh tiga pemikiran yang berbeda, antara lain:
1.      Immanuel Kant
Pemikiran Kant lebih kepada keterbatasan pengetahuan, yaitu bahwa manusia tidak dapat memahami dunia secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja (parsial).
2.      Hegel dan Mark
Hegel dan Marx memiliki pemikiran bahwa teori dan pembentukan teori tidak bisa dipisahkan dari masyarakat. Ilmuwan harus melakukan refleksi terhadap teori atau proses pembentukan teori tersebut.

3.      Max Horkheimer
Horkheimer merupakan salah satu filsuf Jerman yang menjadi salah satu filsuf generasi pertama dari Mazhab Frankfurt. Horkheimer merupakan keturunan dari kaum Yahudi dan dia mempunyai sebuah pandangan tentang Allah berpengaruh dalam perkembangan tradisi kaum Yahudi[3].
B.     Tujuan dan Karakteristik Teori Kritis
Tujuan teori kritis adalah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menggunakan metode reflektif dengan cara mengkritik secara terus menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada, yang cenderung tidak kondusif bagi pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan[4].
Ciri khas Teori Kritis menurut Horkheimer yaitu terbagi menjadi empat macam ;
1.      Kritis terhadap masyarakat. 
2.      Teori kritis berfikir secara historis dengan berpijak pada masyarakat yang historis.
3.      Teori kritis menyadari resiko setiap teori untuk jatuh dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat.
4.      Teori kritis untuk memisahkan teori dan praktik, pengetahuan dari tindakan, rasio teoritis dari rasio praktis[5].
C.     Macam-macam Teori Kritis           
1.      Marxisme
`Marxisme dianggap sebagai dasar pemikiran dari semua teori-teori yang ada dalam tradisi kritis. Marxisme berasal dari pemikiran Karl Marx, seorang ahli filsafat, sosiologi dan ekonomi dan Friedrich Engels, sahabatnya. Marxisme beranggapan bahwa sarana produksi dalam masyarakat bersifat terbatas. Ekonomi adalah basis seuruh kehidupan sosial. Saat ini, kehidupan sosial dikuasai oleh kelompok kapitalis, atau sistem ekonomi yang ada saat ini adalah sistem ekonomi kapitalis.
Dalam masyarakat yang menerapkan sistem ekonomi kapitalis, profit merupakan faktor yang mendorong proses produksi, dan menekan buruh atau kelas pekerja. Hanya dengan perlawanan terhadap kelas dominan (pemilik kapital) dan menguasai alat-alat produksi, kaum pekerja dapat memperoleh kebebasan. Teori Marxist klasik ini dinamakan ’The Critique of Political Economy’ (kritik terhadap Ekonomi Politik).
Marx sangat ingin membangun suatu filsafat praxis yang benar-benar dapat menghasilkan kesadaran untuk merubah realitas, pada saat Marx hidup, yakni masyarakat kapitalis berkelas dan bercirikan penghisapan. Teori Marx meletakkan filsafat dalam konteks yang historis, sosiologis dan ekonomis. Teori Marx bukan sekedar analisa terhadap masyarakat. Teori Marx tidak bicara eonomi semata tetapi ”usahanya untuk membuka pembebasan manusia dari penindasan kekuatan-kekutan ekonomis”.
Menurut Marx, dalam sistem ekonomi kapitalis yang mengutamakan profit, masing-masing kapitalis beruang mati-matian untuk mengeruk untuk sebanyak mungkin. Jalan paling langsung untuk mencapai sasaran itu adalah dengan penghisapan kerja kaum pekerja. Namun kaum pekerja lama-lama memiliki kesadaran kelas dan melawan kaum kapitalis.
Yang akan terjadi menurut ramalan Marx adalah penghisapan ekonomi dengan cara penciptaan kebutuhan-kebutuhan artifisial (palsu) lewat kepandaian teknologi kaum kapitalis. Oleh karena itu kaum kapitalis monopolis ditandai dengan kemajuan teknologi yang luar biasa. Dengan difasilitasi teknologi, tidak lagi terjadi penghisapan pekerja oleh majikan di sebuah perusahaan, tetapi penghisapan ekonomi ”si miskin” oleh ”si kaya” di luar jam kerja, di luar institusi ekonomi. Kapitalisme dapat menimbun untung karena nilai yang diberikan oleh tenaga kerja secara gratis, di luar waktu yang sebenarnya diperlukan untuk memproduksi suatu pekerjaan, Inilah salah satu kritik ekonomi politik kapitalisme Marx.
Hubungan teori marx dengan pendidikan yakni dalam dunia pendidikan, orang yang mempunyai ekonomi yang kuat dan layaklah yang bisa memasukan anaknya di lembaga pendidikan yang bermutu, berbeda dengan mereka yang miskin tentu tidak bisa memasukkan anaknya di sekolah yang bermutu dan layak. Karena teori  marx ini mengukur segala sesuatunya dengan Uang (Kapitalisme).
2.      Frankfurt School
Frankfurt School atau Sekolah Frankfurt merupakan aliran atau mazhab yang secara sederhana sering dipahami sebagai ”aliran kritis”. Teori-teori kritis banyak dikembangkan oleh akademisi dengan meninggalkan ajaran asli Marxisme, namun perlawanan terhadap dominasi dan penindasan tetap menjadi ciri khas. Teori-teori kritis ini sering disebut neo marxist (amarxisme baru) atau marxist (denan m kecil).
Farnkfurt School berasal dari pemikiran sekelompok ilmuwan jerman di bidang filsafat, sosiologi dan ekonomi yang tergabung ”the Institute fur Sosial Forschung ” yang didirikan di Frankfurt, Jerman pada tahun 1923. Anggota-anggotanya antara lain : Max Horkheimer, Theodor Adorno dan Hebert Macuse[6].
Frankfurt School diilhami ajaran Karl Marx, namun sekaligus melampui dan meninggalkan ajaran Marx secara baru dan kreatif. Cara pemikiran Sekolah Frankfurt mereka sebut sendiri sebagai ”Teori Kritik Masyarakat”. Teori Kritis memandang diri sebagai pewaris cita-cita Karl Marx, sebagai teori yang emansipatoris. Teori Kritis tidak hanya menjelaskan tetapi mengubah pemberangusan manusia.
Dalam Frankfurt School dikeal nama Jurgen Habermas, murid termasyhur Theodor W. Adorno, yang membaharui Teori Kritis secara fundamental. Pokok pembaharuannya tersebut adalah :
a. Bila ajaran Marx menganggap basik seluruh kehidupan adalah ekonomi dan bekerja adalah aktivitas pokok manusia, maka menurut Habermas pekerjaan hanya salah satu tindakan dasar manusia saja.
b. Di samping pekerjaan masih terdapat tindakan yang sama dasariah, yaitu interaksi atau komunikasi antarmanusia,
Dalam konteks kedua ini kemudian nama Jurgen Habermas menjadi sangat terkenal di kalangan akademisi komunikasi. Menurut Habermas penindasan tidak dapat bersifat total, tetapi masih ada tempat di mana manusia dapat mengalami ide kebebasan, sehingga selalu masih ada tempat berpijak untuk menentang penindasan. Tempat itu adalah komunikasi.
Temuan Habermas bahwa komunikasi adalah ”tempat ide kebebasan” dijelaskan Suseno sebagai berikut :
”Habermas memperlihatkan bahwa komunikasi tidak mungkin tanpa adanya kebebasan, Kita dapat saja dipaksa atau didesak untuk mengatakan ini atau itu, tetapi kita tak pernah dapat dipaksa untuk mengerti. Manangkap maksud orang lain pun tak pernah dapat dipaksakan. Begitu pula orang tak dapat dipaksa menyadari suatu kebenaran, untuk menyetujui suatu pendapat dalam hati, atau untuk mencinta seseorang. Dalam pengalaman komunikasi sudah tertanam pengalaman kebebasan”. (Sindhunata, 1983 : xxiii).
Disini sangat jelas hubungannya antara teori kritis Madzhab Frankfurt yang di pelopori oleh Habermes dengan komunikasi sebagai tolok ukurnya, seperti dalam sebuah lembaga pendidikan komunikasi antara guru dan siswa sangatlah penting, sehingga guru harus benar benar mengerti karakter seorang siswa melalui komunikasi dengan wali siswa itu sendiri dengan menanyakan keseharian anaknya pada orang tuanya, dengan begitu guru akan mengerti psikologi peserta didiknya sehingga terciptanya pendidikan yang menyenangkan.  
3.      Postmodernisme
Postmodernisme adalah paham yang menolak bahwa proyek pencerahan yang dijanjikan moderenitas. Menurut penganut posmodernisme, modernitas yang ditandai dengan munculnya masyarakat industri dan banyaknya informasi telah memanipulasi berbagai hal termasuk pengetahuan. Beberapa tokoh postmodernisme adalah :
a. Jean Fracois Lyotard, berpendapat bahwa postmodernime menolak janji besar modernisme, bahwa modernisme membawa kemauan masyarakat.
b. Jean Baurillard, berpendapat bahwa dalam modernisme, realitas dan cerita tdak dapat dibedakan. Maka budaya dalam masyarakat modern tidak dapat dipercaya karena merupakan realitas artifisal atau realitas palsu. Misal : dengan kemauan teknologi, lukisan asli tidak dapat dibedakan dengan lukisan pasu. Bahkan kadang yang palsu lebih bagus dari yang asli.
Postsrukturalis : adalah salah satu cabang postmodernisme yang secara khusus menolak makna-makna tanda yang sudah terstruktur dalam pola pikir masyarakat. Setiap orang bebas menafsirkan makna tanda yang ditemui. Roland Barthes tentang semiotika adalah salah satu contoh.
Postkolonialisme : juga merupakan salah satu anak cabang postmodernisme, tetapi yang secara khusus mempelajari budaya-budaya yang ada saat ini sebagai akibat proses penjajahan masa lalu[7], seperti budaya wayangan. Gong gongan, kendurenan, DLL.
Terkait dengan pendidikan memang posmodernisme sangat mempengaruhi dalam dunia pendidikan sekarang ini, seperti adanya Proyektor, Laptop, LCD sangat membantu para guru untuk menjalani Proses belajar mengajar, bahkan sangatlah penting sekali terkait pendidikan supaya pelajaran menjadi menyenangkan setiap harinya.
4.      Kajian Budaya
Teori-teori dalam Kajian Budaya berminat dalam mempelajari budaya-budaya yang terpinggirkan oleh ideologi-ideologi dominan yang hidup pada sebuah budaya. Fokus Kajian Budaya adalah perubahan sosial, yaitu munculnya atau diakuinya budaya-budaya yang termarginalkan tersebut. Ini yang membedakan dengan Frankfur School yang melawan dominasi untuk merebut kekuasaan dalam masyarakat. ”Arena bermain” Kajian Budaya antara lain : ras, gender, usia.
Kajian Budaya merupakan sebuah bidang studi interdisipliner. Kajian Budaya diakui sebagai bidang studi secara resmi, ditandai dengan munculnya ”the Centre for Contempory Cultural Studies” di Birmingham, Inggris tahun 1964.
Salah satu teori atau konsep baru postmodern khususnya postkolonialisme dan juga dapat dikategorikan sebagai kajian Budaya adalah : Teori Identitas Budaya yang dibuat Stuart Hall. Teori ini menolak identitas Afrika (orang-orang kulit hitam) seperti yang diberikan oleh Eropa (orang-orang kulit putih).
Setidaknya ada 2 cara yang berbeda untu berpikir tentang ”identitas budaya”:
a. Cara pertama mendefinisikan ”identitas budaya” sebagai suatu kesatuan, sebuah kumpulan tentang kebenaran seseorang, menyembunyikan atau menonjolkan sesuatu tentang diri kita dimana usur sejarah bersatu di masa sekarang. Dengan definisi ini identitas budaya kita merefesikan pengalaman sejarah dan kode-kode budaya memiliki andil dalam membentuk kita menjadi ”seseorang:, dengan krangka yang stabil, tidak berubah dan tetap tentang refernsi dan makna.
b. Cara kedua yang disusun Stuart Hall untuk melihat identitas budaya adalah melihat beberapa kesamaan sekaligus perbedaan yang membentuk siapa diri kita sekaligus perbedaan yang membentuk ”siapa diri kita sesungguhnya”, dibandingkan ”ita telah menjadi apa”. Idenitas budaya dalam cara pandang kedua ini adalah masalah akan menjadi apa ita kelak dan siapa kita sekarang. Identitas budaya menjadi bagian dari masa depan juga masa lalu. Identitas budaya datang dari suatu tempat, meiliki sejarah, secara konstan beruaha. Identitas budaya adalah permainan dari sejarah, budaya dan kekuasaan. Identitas adalah nama yang kita berikan kepada kita dengan cara berbeda dimana kita diposisikan dan posisi dimana kita berada di masa lalu[8].
Teori Stuart Hall menyusun teori yang menghasilkan konsep baru atau definisi baru berdasarkan pemahaman tentang karakter traumatik pengalaman penjajahan. Cara dimana orang-orang kulit putih hitam diposisikan dan diperlakukan dalam rezim dominan kulit putih, yang memiliki dampak pada kekuatan budaya. Oang kulit hitam dikonstrusikan sebagai kelompok yang berbeda dalam rezim barat.
Untuk memahami pendidikan setiap guru harus mengerti dulu budaya yang dibawa oleh anak didiknya, karena setiap anak pasti dengan budaya yang berbeda-beda, mungkin dengan memberi pertanyaan pada peserta didik, dia berasal dari mana ? atau dengan angket yang diberikan kepadanya dan juga orang tuanya untuk mengetahui kegiatan sehari-harinya, supaya guru mengerti dengan cara apa menegajar anak didiknya.
5.      Feminisme
Studi feminisme adalah label ”generik” bagi studi yang menggali makna penjenis kelaminan (gender) dalam masyarakat. Perumus-perumus teori feminisme mengamati bahwa banyak aspek dalam kehidupan memiliki makna gender. Gender adalah konstrusi sosial yang meskipun bermanfaat, tetapi telah didominasi oleh bias laki-laki dan merugikan wanita. Teori Feminisme bertujuan untuk terjadina kesetaraan antara laki-laki dan wanita di dunia.
Salah satu teori feminisme, khususnya teori komunikasi feminisme adalah tentang Representasi yang disusun oleh Rakowdan Wackwitz. Rakow dan Wackwitz meneliti penggunaan-penggunaan bahasa yang digunakan beberapa pertanyaan penelitian sebagai berikut :
a. Siapa dipilih untuk berbicara atau memutuskan sesuatu adalah merupakan pertanyaan politis, yang menempatkan dimana posisi perempuan dan dimana laki-laki.
b. Siapa berbicara untuk siapa, atau suara siapa, yang dimuculkan dalam teks.
c. Satu bagian untuk mengungkapkan keseluruhan atau berbicara sebagai bagian dari kelompok.
d. Siapa dapat berbiara dan merepresentasikan siapa?
e. Pemilihan penulis dan penerbit media.
Dalam kaitan dengan 5 pertanyaan di atas, penelitian Claire Johnson tentang film sejak 1970 menyimpulkan bahwa ”perempuan ditampilkan sebagaimana dikehendaki oleh laki-laki”, dan Mary Ann Doane’s seorang analis film hollywood mengatakan bahwa ”perempuan harus ditampilkan dalam sudut pandang perempuan, keinginan perempuan dan kegiatan perempuan”.
Salah satu teori feminisme itu adalah muted group theory, yang dirintis oleh antropolog Edwin Ardener dan Shirley Ardener. Melalui pengamatan yang mendalam, tampaklah oleh Ardener bahwa bahasa dari suatu budaya memiliki bias laki-laki yang melekat di dalamya, yaitu bahwa laki-laki menciptakan makna bagi suatu kelompok, dan bahwa suara perempuan ditindas atau dibugkam. Perempuan yang dibungkam ini, dalam pengamatan Ardener, membawa kepada ketidakmampuan perempuan untuk dengan lantang mengekspresikan dirinya dalam dunia yang didominasi laki-laki.
Dulu perempuan tidak boleh sekolah, namun sekarang boleh ini merupakan satu upaya seorang tokoh emansipasi wanita R.A Kartini dalam menyetarakan gender, bahkan sekarang dalam dunia pendidikan wanita lah yang lebih unggul dibandingkan laki-laki dalam hal Kerapian, Kebersihan, dan Ranking dalam bersaing didalam kelas.
D.    Hubungan Teori kritis dalam pendidikan
Pendidikan mempunyai dua dimensi yang saling berhubungan. Pertama, pendidikan merupakan suatu hak asasi manusia yang berarti bahwa, manusia tanpa pendidikan tidak dapat mewujudkan kemanusiaannya.
Kedua, pendidikan merupakan suatu proses berarti bahwa pendidikan merupakan suatu peristiwa memanusia. Peristiwa tersebut berarti merupakan suatu proses perubahan. Perubahan hakikat manusia yang memanusiakan “kebebasan dari” dan kesadaran dari “ketergantungan pada.
Upaya untuk membangun kesadaran kritis tersebut sampai pada level transformasi individual, sejatinya juga menyisakan pertanyaan dan persoalan. Misalnya, dengan penekanan pada transformasi pada dimensi individual peserta didik, bagaimana dengan transformasi sosial pada lingkup yang lebih luas, yaitu sekolah dan masyarakat; bagaimana juga penekanan pada agensi (agency) ini dapat memberi kontribusi bagi perubahan struktur (institusi, sistem, sekolah); apa benar iya “hanya” dalam tempo sebelas hari sudah bisa menghasilkan bentuk transformasi individual yang “luar biasa”, atau jangan-jangan penggalian data ini hanya untuk menunjukkan telah dicapainya perubahan atau transformasi pada dimensi individu siswa-siswi tersebut? Para lulusan “dibiarkan” untuk bergerak dalam bentuk melawan dan melakukan negosiasi di dalam struktur sekolah.
Ada beberapa ciri khas yang merupakan corak tradisi Teori Kritis. Pertama, yaitu memberi kebebasan subjek; artinya subjek dipandang sebagai sesuatu yang utama (pusat realitas), manusia sebagai subjek mempunyai kehendak yang mampu mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah. Ini dijadikan inspirasi dalam penelitian kritis. Kedua, responden dalam penelitian kritis tidak dipandang sebagai objek, melainkan dipahami sebagai subjek yang bebas. Teori Kritis mempunyai sifat membebaskan masyarakat dari penindasan yang sifatnya semu. Hal tersebut harus dijelaskan dengan menumbuhkan kesadaran melalui rasio, kemudian dipaparkan dengan analisis yang sifatnya psikologi, tetapi dalam lingkup yang lebih luas yaitu masyarakat. Ketiga, negasi dan cara berpikir dialektika dapat dipakai untuk menumbuhkan kesadaran sejati. Teori Kritis tidak berhenti pada hal kesadaran yang sifatnya abstrak dan menerawang, tetapi bagaimana hal tersebut akan mampu membumi melalui praktik, sehingga dalam penelitian Teori Kritis tidak berakhir pada paparan deskriptif, tetapi sampai pada aksi yaitu kritis transformatif (Kartono dkk., 2004: 38). Jadi, Teori Kritis berbeda dengan teori filsafat tradisional yang hanya bersifat kontemplatif ataupun ‘lamunan’ yang jauh dari kehidupan manusia dalam masyarakat yang nyata, dimana manusia yang dipandang sebagai subjek didik sangat ditekankan, dan segala unsur lainnya dalam pendidikan (seperti kurikulum, fasilitas pendidikan, dan lainnya) akan dipandang dan dimanfaatkan secara optimal sebagai sarana yang mampu membantu mengantarkan manusia (peserta didik) menjadi manusia yang berkualitas yang mampu mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah. Kedua, dengan menumbuhkan kesadaran melalui rasio, Teori Kritis mempunyai sifat membebaskan masyarakat dari penindasan yang sifatnya semu. Ketiga, cara berpikir dialektika dalam Teori Kritis yang diterapkan dalam sistem pendidikan akan menekankan pada orientasi bahwa subjek-didik mampu menumbuhkan kesadaran sejati, suatu kesadaran yang tidak abstrak belaka, melainkan kesadaran yang “dibumikan” dalam praktik kehidupan bermasyarakat, sehingga kekritisan tersebut tertransformasikan secara riil dalam tindakan untuk memperoleh perubahan kondisi dalam masyarakat. Tentang kesadaran sejati tersebut, Habermas menyebutnya sebagai pencerahan, yang dapat dipahami sebagai sebuah perlawanan dan kontra kekuatan terhadap mitos. Sebuah perlawanan karena ia menentang kekuatan yang dipaksakan dari argumen yang lebih baik terhadap normativitas otoritarian sebuah tradisi yang berhubungan dengan rentetan dari beberapa generasi sebagai kontra-kekuatan karena dengan wawasan yang diperoleh secara individual dan diubah menjadi motif-motif, ia dianggap telah menghancurkan pesona kekuatan kolektif (Habermas, 1987: 107). Dalam perjalanannya, pendidikan kritis mempunyai kometmen terhadap pemberdayaan dan pembebasan yang mencita-citakan perubahan sosial dan struktural menuju masyarakat yang adil dan demokratis. Dilemanya, terjadi saling ketergantungan secara dialektis antar pendidikan kritis dan sistem sosial yang demokratis; pendidikan kritis membutuhkan ruang yang demokratis dan sebaliknya, untuk membuat suatu ruang menjadi demokratis diperlukan pendidikan kritis Fakta yang sekarang lebih menyeruak dalam pendidikan adalah meletakkan peserta didik sebagai obyek pelatihan; penjinakan, yang merupakan bagian dari dehumanisasi. Dalam perspektif kritis, melakukan refleksi kritis merupakan tugas pendidikan. Pendidikan tidak mungkin dan tidak bisa netral, objektif maupun “detachment” dari kondisi masyarakat. Untuk itu, diperlukan kemampuan menciptakan ruang agar muncul sikap kritis terhadap sistem dan struktur ketidakadilan sosial serta pengdekonstruksian terhadap diskursus yang dominan dan tidak adil menuju sistem sosial yang lebih adil.






BAB III
KESIMPULAN DAN PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Teori kritis Merupakan teori yang menggunakan metode reflektif dengan melakukan kritik secara terus-menerus terhadap tatanan atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada. Atau juga bisa dikatakan Teori kritis untuk menolak skeptisisme dengan tetap mengaitkan antara nalar dan kehidupan sosial. Dengan demikian, teori kritis menghubungkan ilmu-ilmu sosial yang bersifat empiris dan interpretatif dengan klaim-klaim normatif tentang kebenaran, moralitas, dan keadilan yang secara tradisional merupakan bahasan filsafat.
Tujuan teori kritis ialah menghilangkan berbagai bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Sedangkan  Karateristik teori kritis ada empat, yaitu :
1.      Kritis terhadap masyarakat. 
2.      Teori kritis berfikir secara historis dengan berpijak pada masyarakat yang historis.
3.      Teori kritis menyadari resiko setiap teori untuk jatuh dalam suatu bentuk ideologis yang dimiliki oleh struktur dasar masyarakat.
4.      Teori kritis untuk memisahkan teori dan praktik, pengetahuan dari tindakan, rasio teoritis dari rasio praktis
Kemudian macam-macam teori kritis menurut sumbernya ada lima Madzab, yaitu :
1.      Marxisme
2.      Frankfurt School
3.      Postmodernisme
4.      Kajian Budaya
5.      Feminisme
Hubungan teori kritis dalam pendidikan Ada beberapa hal yang menjadi hubungan antara Teori Kritis dan pendidikan yaitu Pertama, memberi kebebasan subjek; artinya subjek dipandang sebagai sesuatu yang utama (pusat realitas), peserta didik sebagai subjek mempunyai kehendak yang mampu mengubah kondisi sosial dan membuat sejarah. Ini dijadikan inspirasi dalam penelitian kritis. Kedua, responden dalam penelitian kritis tidak dipandang sebagai objek, melainkan dipahami sebagai subjek yang bebas.
B.     PENUTUP
Alhamdulillah penulis dapat menyelesaikan makalah Filsafat ilmu dengan tema:Teori kritis ini walau tidak sempurna, jadi penulis memohon kritik dan saran yang menjadikan tulisan ini menjadi lebih sempurna.



DAFTAR PUSTAKA
Robbani, Teori Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 darihttp://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/
Simon Petrus L. Tjahjadi. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.
Bryan Turner.. (Teori-Teori Sosiologi: Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2008)
Listiono, Dkk Seri pemikiran tokoh epistemologi kiri (Ar-ruz Media: Jogjakarta; 2010)
Donny Gahral Adian, Percik pemikiran kontemporer sebuah pengantar komperhenshif ( Bandung: Jalasutra: 2005)
Habermas, Jurgen. 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. (terjemahan Hassan Basari). Jakarta: LP3ES
Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya,




[1] Lihat, Donny Gahral Adian, Percik pemikiran kontemporer sebuah pengantar komperhenshif ( Bandung: Jalasutra: 2005), h 43-44
[2] Robbani, Teori Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 darihttp://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/
[3] Lihat, Simon Petrus L. Tjahjadi. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. Hal. 102-114.
[4] Bryan Turner.. (Teori-Teori Sosiologi: Modernitas-Posmodernitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar: 2008),h .229.
[5] Lihat, Listiono, Dkk Seri pemikiran tokoh epistemologi kiri (Ar-ruz Media: Jogjakarta; 2010) h. 100-101
[6] Lihat, Donny Gahral Adian, Percik pemikiran kontemporer sebuah pengantar komperhenshif ( Bandung: Jalasutra: 2005), h 43
[7] Jurgen Habermas,. 1990. Ilmu dan Teknologi sebagai Ideologi. (terjemahan Hassan Basari). Jakarta: LP3ES
[8] Agung Banyu Perwita dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya, hlm. 104

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Travel dokument dan macam macamnya

Bilingualisme dan Dialogsia

Strategi Pembelajaran Mufrodat