Thesis Bab 2
BAB II
KAJIAN TEORI
PAda bab ini akan diuraikan kajian teori
secara berurutan, meliputi subbab berikut: A. Membahas konsep model
pembelajaran, meliputi pengertian model, pengertian pembelajaran, tujuan model
pembelajaran bahasa arab. B. Model pembelajaran bahasa arab di pesantren. C.
Style dan pola model pembelajaran bahasa arab di pesantren. D. Konsep budaya
model pmbelajaran bahasa arab di pesantren.
A.
Konsep Model
Pembelajaran
1.
Pengertian
Model Pembelajaran
Pendidikan
Islam dilaksanakan untuk menghadapi persaingan global, sehingga pendidikan
Islam disajikan dalam berbagai bentuk, termasuk muatannya[1].
Refleksi dari konsep tersebut diharapkan mahasiswa dapat memiliki pemikiran dan
perspektif global. Perspektif ini penting untuk memasuki dunia kerja[2].
Salah satu muatan dalam pendidikan Islam adalah pembelajaran bahasa Arab.
Pembelajaran bahasa Arab sebagai bahasa asing mengharuskan keberhasilannya tidak
sekadar bertumpu pada kurikulum, tetapi juga kepada model dan metode
pembelajarannya, selain faktor yang terpenting adalah pengajarnya itu sendiri.
Pengajar profesional memang sangat menentukan dalam kesuksesan pencapain tujuan
pembelajaran[3].
Masalah yang
paling krusial adalah model pembelajaran bahasa Arab yang masih menggunakan
metode campur-campur, tentu bukan campuran / eklektif, artinya guru/dosen
membacakan satu sumber bahan ajar untuk empat maharat; Istima’, Kalam, Qira’at,
dan Kitabah yang oleh pengarang buku sendiri (Misal: Al-Arabiyah Baina Yadaik)
memang mengklaim bahwa buku tersebut mampu memenuhi kebutuhan keempat maharat
di atas.
Padahal Model
pembelajaran memiliki andil yang cukup besar dalam kegiatan belajar mengajar.
Kemampuan menangkap pelajaran oleh mahasiswa dapat dipengaruhi dari pemilihan
model pembelajaran yang tepat, sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan
akan tercapai. Terdapat berbagai macam model pembelajaran yang dapat dijadikan
alternatif bagi guru/dosen untuk menjadikan kegiatan pembelajaran di kelas
berlangsung efektif dan optimal. Dalam dunia pesantren pun seperti itu terutama
pesantren yang berbasic salaf para Ustadz merasa kebingungan memberikan model
pembelajaran bahasa arab kepada santri, sebab para santri lebih senang membaca
kitab kuning daripada berbicara bahasa arab[4].
Dalam
Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab I pasal
1, dinyatakan bahwa pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk
mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara
aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Pendidikan
nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban
bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan
untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan
bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung
jawab (UU Sisdiknas, Bab II pasal 3). Manifestasi fungsi dan tujuan pendidikan
nasional tersebut salah satunya dapat diwujudkan melalui penyelenggaraan
pendidikan di berbagai lembaga pendidikan, baik formal, nonformal, maupun
informal. Dalam lembaga pendidikan formal, manifestasi tersebut dapat
diwujudkan melalui penyelenggaraan lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar,
menengah, sampai ke perguruan tinggi. Di antara perguruan tinggi yang mempunyai
peranan penting dalam upaya mewujudkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional
tersebut adalah perguruan tinggi Islam[5].
Disaat pendidikan formal memiliki daya minat yang begitu intensif bagi
masyarakat, begitu juga pondok pesantren yang tidak kalah peranannya dalam
khazanah ilmu pengetahuan, sebab pesantren merupakan cikal bakal para Da’I,
Ulama’ dan sosok pemimpin yang mengerti akan hokum agama islam secara
komperhensif, supaya para santri yang mondok di pesantren memiliki kemampuan
yang sama dengan peserta didik yang menempuh pendidikan disekolah formal, maka
dari itu pembelajaran bahasa arab harus diterapkan di dalam pondok pesantren di
seluruh Indonesia[6].
Model
pembelajaran mengalami perkembangan secara terus-menerus seiring dengan
perkembangan yang terjadi pada disiplin ilmu bahasa, ilmu pendidikan, dan arus
perkembangan zaman. Lebih dari itu hasil-hasil penelitian dalam bidang
pengajaran bahasa itu sendiri juga memberikan kontribusi pada lahirnya
pendekatan dan metode baru dalam pengajaran bahasa[7].
Diakui bahwa sebagian besar dari perkembangan tersebut terjadi
pada pengajaran bahasa Inggris sebagai bahasa dunia yang paling banyak
peminatnya dewasa ini. Sedangkan pengajaran bahasa Arab lebih banyak berperan
sebagai adopsiator sehingga seringkali tertinggal satu langkah dibandingkan
pengajaran bahasa Inggris. Lahirnya strategi dan model yang telah ada selama
ini belum memberikan kepuasan dan kelegaan di kalangan pembelajar bahasa,
sesuai dengan perkembangan zaman di era kemajuan teknologi informasi dan
komunikasi ini dunia pendidikan butuh dengan konsep pendidikan yang sinergi
dengan kemajuan teknologi termasuk pembelajaran bahasa. Penelitian telah
membuktikan bahwa model pembelajaran yang didukung dengan pemanfaatan media
pembelajaran menunjukan dampak yang sangat signifikan terhadap kemampuan
pembelajar memahami materi dibandingkan dengan system conventinal instruction[8].
Pembelajaran yang hanya berdasarkan ceramah akan membantu
pembelajar memahami materi hingga 5%. Jika model pembelajaran berkembang dengan
mereka membaca, presentasi akan meningkat menjadi 10%, berturut-turut
audiovisual, demontsrasi, diskusi, latihan, dan saling mengajar akan mencapai
mulai dari 20% hingga 80%[9].
Schramm mengemukakan bahwa bahwa materi pembelajaran sangat dipengaruhi oleh
isi dan model instruksional serta jenis teknologi yang digunakan[10].
Di sisi lain, Clark mengatakan bahwa penggunaan teknologi (komputer multimedia) dalam pembelajaran
sangat membantu penyiapan materi secara efisien dan efektif[11]. Padahal Model
pembelajaran memiliki andil yang cukup besar dalam kegiatan belajar mengajar.
Kemampuan menangkap pelajaran oleh santri dapat dipengaruhi dari pemilihan
model pembelajaran yang tepat, sehingga tujuan pembelajaran yang ditetapkan
akan tercapai. Terdapat berbagai macam model pembelajaran yang dapat dijadikan
alternatif bagi Guru bahasa arab baik dilembaga Formal maupun Non formal untuk
menjadikan kegiatan pembelajaran di pesantren berlangsung efektif dan optimal.
Salah satunya yaitu dengan menggunakan model pembelajaran menghafal. Tidak hanya itu, model pembelajaran bahasa
Arab di Pesantren juga tidak berjalan sebagaimana mestinya, dalam arti bahwa
tidak adanya keseragaman bentuk materi keempat maharat pada masing-masing
Ustadz, yang memang tidak dilakukan pertemuan untuk menyeragamkan dan
menyatukan visi dalam proses pembelajaran.
Pada
akhirnya, hasil tidak sesuai dengan yang diharapkan, tidak mampu membuat santri
yang tidak bisa berbahasa Arab menjadi bisa berbahasa Arab, kalaupun ada maka
prosesntasenya sangat kecil. Dengan kata lain bahwa perkembangan yang dialami
oleh santri dalam hal kemapuan berbahasa Arab di Pesantren bukan karena model
pembelajaran yang menjadi faktor utama, melainkan faktor eksternal, misalnya
saja ada beberapa santri yang juga belajar secara intensif di luar institusi
pesantren, atau secara otodidak, dan lain sebagainya. Maka untuk mengatasi hal
tersebut, langkah yang dapat diambil adalah pengajar harus dapat menampilkan
pelajaran bahasa Arab dengan metode mutakhir yang efektif dan teknik
pembelajaran yang menarik[12].
Pembelajaran
bahasa Arab pada hakikatnya merupakan implementasi kurikulum bahasa Arab.
Kurikulum bahasa Arab adalah seperangkat rencana (khitthat al-‘amal) kegiatan
pembelajaran bahasa Arab yang meliputi tujuan (al-aghrâd al-ta’lîmiyyah),
materi (al-maudhû’ât) dan pengalaman pembelajaran (al-khibarât al-ta’lîmiyyah)
pada setiap jenjang pendidikan. Implementasi kurikulum merupakan suatu proses
penerapan ide, konsep dan kebijakan kurikulum dalam suatu aktivitas
pembelajaran, sehingga peserta didik menguasai seperangkat kompetensi tertentu,
sebagai hasil interaksi dengan lingkungan. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan
bahwa implementasi kurikulum merupakan proses menerapkan rencana dalam bentuk
pembelajaran yang melibatkan interaksi antara peserta didik dan pendidik.
Implementasi kurikulum bahasa Arab berimplikasi terhadap serangkaian tuntutan
yang harus dipenuhi oleh seorang pendidik bahasa Arab dalam menjalankan tugas
profesinya dalam bentuk pembelajaran. Dengan asumsi bahwa pendidiklah yang
paling tahu mengenai tingkat perkembangan peserta didik, perbedaan individu
peserta didik, daya serap, suasana dalam kegiatan pembelajaran, serta sarana
dan sumber yang tersedia (Miller dan Seller, 1985: 246 dan Abdul Alim Ibrahim,
1973: 35-36).
Zais (1976)
merumuskan pembelajaran, yaitu; (1) a relatively permanent change in response
potentiality occurs as a result of reinforced practice, (2) a change in human
disposition or capability which can be retained and which is not simply
ascribable to the process or growth. Berdasarkan rumusan ini, ada tiga hal yang
dapat diperhatikan dalam proses pembelajaran, yaitu: pertama, belajar
menghasilkan perubahan tingkah laku peserta didik[13]
yang relatif permanen, artinya peran pendidik adalah sebagai pelaku perubahan.
Kedua, peserta didik memiliki potensi dan kemampuan yang merupakan benih
kodrati untuk ditumbuhkembangkan tanpa henti. Dengan demikian, pembelajaran
merupakan optimalisasi potensi diri sehingga dicapai kualitas yang ideal.
Ketiga, perubahan atau pencapaian ideal itu tidak tumbuh sejalan proses
kehidupan, tetapi ia didesain secara khusus demi tercapainya kondisi atau
kualitas ideal (Syah, 1995: 90).
Bahasa Arab
memiliki kekhasan dan spesifikasi tersendiri yang perlu mendapat perhatian
khusus dalam proses pembelajarannya. Peserta didik tidak hanya belajar bahasa,
tetapi juga belajar tentang bahasa. Dengan demikian, pembelajaran bahasa Arab
tidak terfokus pada substansi bahasa semata, tetapi masalah-masalah lain juga
yang berkaitan dengan pembelajaran bahasa perlu mendapat perhatian serius,
seperti didalam pesantren yang setiap harinya para santri mengucapkan bahasa
arab seperti pada saat sholat, Nahwu, Shorof, I’lal, Balaghoh, Mantiq, Fikih,,
Dll, namun kebanyakan kebanyakan para santri sulit sekali berbicara bahasa arab
dikarenakan banyak factor yang mempengaruhi khususnya factor kurang terbiasa
dalam berbicara bahasa arab[14].
Model
pembelajaran merupakan kerangka konseptual yang melukiskan prosedur yang
sistematis dalam mengorganisasikan pengalaman belajar untuk mencapai tujuan
belajar tertentu dan berfungsi sebagai pedoman bagi para perancang pembelajaran
dan para pendidik dalam merencanakan aktivitas pembelajaran, sehingga dapat
memberikan kerangka dan arah bagi pendidik dalam implementasi pembelajaran.
Dengan demikian, aktivitas pembelajaran benar-benar merupakan kegiatan
bertujuan yang tertata secara sistematis. Nieveen (1999) menyatakan bahwa suatu
model pembelajaran dikatakan baik jika memenuhi kriteria sebagai berikut.
Pertama, sahih (valid). Aspek validitas dikaitkan dengan dua hal, yaitu: (1)
apakah model yang dikembangkan didasarkan pada rasional teoretis yang kuat; dan
(2) apakah terdapat konsistensi internal. Kedua, praktis. Aspek kepraktisan
hanya dapat dipenuhi jika: (1) para ahli dan praktisi menyatakan bahwa apa yang
dikembangkan dapat diterapkan; dan (2) kenyataan menunjukan bahwa apa yang
dikembangkan tersebut dapat diterapkan. Ketiga, efektif. Berkaitan dengan aspek
keefektivan ini, Nieveen memberikan parameter sebagai berikut. (1) ahli dan
praktisi berdasar pada pengalamannya menyatakan bahwa model tersebut efektif;
dan (2) secara operasional model tersebut memberikan hasil sesuai dengan yang
diharapkan. (Trianto 2010: 24-25).
Model
pembelajaran harus dilandasi teori-teori belajar. Teori belajar pada dasarnya
merupakan penjelasan mengenai bagaimana terjadinya belajar atau informasi
diproses di dalam pikiran peserta didik. Berdasarkan suatu teori belajar,
diharapkan suatu pembelajaran dapat lebih meningkatkan perolehan peserta didik
sebagai hasil belajar. Dalam pembelajaran bahasa terdapat beberapa teori yang
melandasi model pembelajaran bahasa, yaitu: teori Behaviorisme, Nativisme,
Kognitivisme, Fungsional dan Konstruktivisme[15].
Model
pembelajaran dapat dijadikan pola pilihan, artinya para guru boleh memilih
model pembelajaran yang sesuai dan efesien untuk mencapai tujuan pendidikan.
Sehingga model pembelajaran memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1.
Berdasarkan teori pendidikan dan
teori belajar dari para ahli tertentu. Sebagai contoh, model penelitian
kelompok disusun oleh Herbert Thelen dan berdasarkan teori John Dewey. Model
ini dirancang untuk melatih partisipasi dalam kelompok secara demokratis.
2.
Mempunyai misi atau tujuan
pendidikan tertentu. Misalnya model berfikir induktif dirancang untuk
mengembangkan proses berfikir induktif.
3.
Dapat dijadikan pedoman untuk
perbaikan kegiatan belajar mengajar di kelas. Misalnya model synectic dirancang
untuk memperbaiki kreativitas dalam pelajaran mengarang.
4.
Memiliki bagian-bagian model dalam
pelaksanaan, yaitu: urutan langkah-langkah pembelajaran(syntax); adanya
prinsip-prinsip reaksi; sistem social; sistem pendukung.
5.
Memiliki dampak sebagai akibat
terapan model pembelajaran. Dampak tersebut meliputi: dampak pembelajaran,
yaitu hasil belajar yang dapat diukur, dan dampak pengiring, yaitu hasil
belajar jangka panjang.
Membuat
persiapan mengajar (desain instruksional) dengan pedoman model pembelajaran
yang dipilihnya. Teori belajar oleh Gagne (1988) disebut dengan “Information
Processing Learning Theory”. Teori ini merupakan gambaran atau model dari
kegiatan di dalam otak manusia di saat memroses suatu informasi. Karenanya
teori belajar tadi disebut juga Information-Processing Model oleh Lefrancois
atau Model Pemrosesan Informasi. Menurut Gagne bahwa dalam pembelajaran terjadi
proses penerimaan informasi, untuk kemudian diolah sehingga menghasilkan
keluaran dalam bentuk hasil belajar. Dalam pemrosesan informasi terjadi adanya
interaksi antara kondisi-kondisi internal dan kondisi-kondisi eksternal
individu. Kondisi internal yaitu keadaan dalam diri individu yang diperlukan
untuk mencapai hasil belajar dan proses kognitif yang terjadi dalam individu.
Sedangkan kondisi eksternal adalah rangsangan dari lingkungan yang mempengaruhi
individu dalam proses pembelajaran. Asumsinya adalah pembelajaran merupakan
faktor yang sangat penting dalam perkembangan. Perkembangan merupakan hasil
komulatif dari pembelajaran. Dalam pembelajaran terjadi proses penerimaan
informasi yang kemudian diolah sehingga menghasilkan output dalam bentuk hasil
belajar.. Pembelajaran merupakan keluaran dari pemrosesan informasi yang berupa
kecakapan manusia (human capitalities) yang terdiri dari: informasi verbal,
kecakapan intelektual, strategi kognitif, sikap, kecakapan motorik. Model
pembelajaran pemrosesan informasi adalah model pembelajaran yang
menitikberatkan pada aktivitas yang terkait dengan kegiatan proses atau
pengolahan informasi untuk meningkatkan kapabilitas siswa melalui proses
pembelajaran. Model ini lebih memfokuskan pada fungsi kognitif peserta didik.
Model ini berdasarkan teori belajar kognitif sehingga model tersebut
berorientasi pada kemampaun siswa memproses informasi dan sistem-sistem yang
dapat memperbaiki kemampuan tersebut. Pemrosesan informasi menunjuk kepada cara
mengumpulkan/menerima stimuli dari lingkungan, mengorganisasi data, memecahkan
masalah, menemukan konsep-konsep, dan pemecahan masalah, serta menggunakan
simbol-simbol verbal dan non verbal. Model ini berkenaan dengan kemampuan
memecahkan masalah dan kemampuan berpikir produktif, serta berkenaan dengan
kemampuan intelektual umum (general intellectual ability)[16].
B.
MODEL
PEMBELAJARAN BAHASA ARAB
Perkembangan pesantren
di Indonesia cukup menggembirakan, di mana jumlah pesantren terus berkembang.
Menurut data Kementrian Agama, jumlah Pondok Pesantren tahun 2011-2012 sebanyak
27.230 Pondok Pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, dengan jumlah
5,631,648 santri.[17]
Pada mulanya pesantren adalalah sebuah tempat untuk menimba ilmu
agama, yang dalam naungan kiyai yang menguasai ilmu agama, namun dengan
berjalannya waktu, pesantren berkembang sedikit demi sedikit sehingga pada masa
sekarang pesantren sangat mudah sekali ditemukan baik di pedesaan maupun di
perkotaan. Namun antara pesantren kota dan desa sangat berbeda sekali, di desa
pesantren sangat dibesarkan dan diagungkan, para santri (siswa pondok
pesantren) sangat didambakan oleh masyarakat karena mereka dipercaya mempunyai
masa depan yang baik dan berakhlaqul karimah dalam memimpin masyarakat.
Tak hanya itu, pesantren juga mempunyai
kelebihan tersendiri dalam mendidik para santri. Biasanya santri tak sebegitu
banyak diberi ilmu pengetahuan hanya para santri yang
selalutawadhu’ dan khidmat kepada paruh pengasuh, sehingga para
santi mendapat do’a pengasuh dan ilmu yang bermanfa’at. Dalam pengertian lain
pesantren adalah teman pendidikan agama yang berada dibawah pimpinan seorang
atau beberapa kiyai dan dibantu oleh sejumlah santri senior serta beberapa
anggota keluarganya. Pesantren juga merupakan lembaga pendidikan yang
mempengaruhi dan menentukan proses pendidikian nasional yang mana pesantren tak
hanya identik dengan pelajaran keislaman saja namun juga mengandung pelajaran
pendidikan keaslian Indonesia, karena pesantren sudah ada sejak zaman dahulu,
zaman Hindhu-Budha[18].
Pondok pesantren
adalah tempat pembelajaran yang tertua yang ada di Indonesia, pesantren sangat
berperan aktif dalam mencetak kader-kader mudah yang potensial dan
mempunyai skill yang cukup tinggi, walaupun pesantren lebih identik
dengan pembelajaran ilmu agama namun para santri tak kalah saing dengan santri
non pesantren.
Pada umumnya dalam pesantren kerap sekali
bahkan setiap hari di suguhi dengan tulisan Arab atau kitab Arab yang biasanya
disebut dengan kitab kuning, dalam kitab kuning tak akan pernah dijumpai
tulisan latin, yang ada hanyalah tulisan berbahasa Arab tanpa harokat. Dalam
hal ini para santri diwajibkan oleh kiyai untuk bisa memahami apa yang dibahas
dalam kitab itu, oleh karena itu setiap santri berkewajiban untuk mahir dalam
berbahasa Arab.
Bahasa Arab dalam
pesantren tak hanya ada pada kitab kuning saja, dalam proses belajar mengajar
di madrasah diniyah para santri masih menjumpai bahasa Arab. Apalgi pada pondok
salafi seperti Langitan, Gontor dan lain sebagainya, bahasa Arab menjadi
bahasa yaumiyyah atau bahasa sehari-hari. Dan untuk mencetak santri
yang mahir dalam bahasa arab, tak sedikit cara yang dilakukan oleh
para pengasuh seperti menterjemah lagu-lagu indonesia ke bahasa Arab, dari
Inggris ke bahasa Arab, bahkan para santri
menghafal mufrodat untuk menambah kosa kata.
Dalam kegiatan
pembelajaran di pesantren atau di madrasah diniah, pelajaran yang paling di
utamakan adalah pelajaran nahwu shorof yang merupakan langkah pertama
untuk menguasai kaidah-kaidah bahasa arab, dan untuk selanjutnya para santri di
wajibkan untuk menghafal nadhom-nadhom atau syair-syair yang
berhubungan dengan peljaran bahasa Arab, diantar nadhom-nadhomitu
adalah: nadhom maqsud, alfiyah ibn malik, qowaidul i’lal, tashrifiyah,
imrithi dan sebagainya.
Selain
ketersedian rencana pelaksanaan pembelajaran, tenaga pendidik juga dituntut
agar dapat menyiapkan model pembelajaran yang dapat menunjang kelancaran dan
membantu para santri untuk lebih mudah memahami materi pembelajaran. Dalam
pembelajaran bahasa Arab, guru dituntut untuk membuat media seperti gambar yang
dapat membantu pemahaman para santri terhadap materi bahasa arab yang
diajarkan.
1.
Mendengar dan
Model Pembelajarannya
Hasil
penelitian membuktikan bahwa sebagian besar orang hanya dapat menyerap 30% saja
dari pengetahuan yang didengarnya, dan hanya dapat mengingat 25% dari apa yang
ia serap dari pengetahuan itu. Oleh karena itu, untuk dapat meningkatkan daya
serap pengetahuan yang didengarnya, maka menyimak perlu dilatih secara khusus[19].
Langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk melatih pendengaran di antaranya:
a. Istima’ al-Ma’lumat
au al-Khabar; peserta didik dapat melatih pendengaran lewat kebiasaan mendengar
berbagai berita dan informasi yang disajikan lewat media el ektronik. Dari
sajian latihan pendengaran model ini, maka peserta didik terbiasa memahami gaya
bahasa yang digunakan dan model komunikasi yang dilakukan oleh native speaker.
b. Talkhis Magza;
yakni melatih pendengaran peserta didik dengan cara menyajikan suatu bacaan
dengan tema tertentu. Kemudian, meminta peserta didik untuk menganalisis dengan
menggunakan kata-kata tanya (istifham)[20].
2.
Berbicara dan
Model Pembelajarannya
Keterampilan
berbicara dapat terwujud dengan baik setelah keterampilan menyimak dan
mengucapkan kosa kata bahasa Arab dilakukan. Kegiatan berbicara dapat mengambil
bentuk percakapan, diskusi, cerita, atau pidato. Ada beberapa langkah dapat
dilakukan agar peserta didik termotivasi untuk berbicara, antara lain:
a. Khibrah
Mutsirah; menyampaikan topik bahasa Arab yang selalu dikaitkan dengan
pengalaman peserta didik sehari-hari. Kemudian, meminta peserta didik untuk
mengungkapkan kembali pengalamannya yang disesuaikan dengan topik tersebut.
b. Ta’bir al-ara
al-Raisiyyah; mengasah keberanian peserta didik untuk bicara dengan bahasa Arab
secara spontan dan kreatif, yaitu dengan menjelaskan materi melalui peta konsep
(labelisasi).
c. Tamtsiliyah,
dengan mengajak peserta didik belajar bahasa Arab dengan cara bermain drama,
masing-masing diberi peran sesuai skenario yang terdapat dalam bacaan. Pada
kegiatan ini mempunyai dua manfaat, yaitu hiburan dan belajar berbahasa[21].
3.
Membaca dan
Model Pembelajarannya
Membaca
sebenarnya meliputi kegiatan berpikir, menilai, menganalisis, dan memecahkan
masalah. Membaca dapat dibagi menjadi; membaca jelas dan dalam hati, serta
membaca intensif (mukasyafah) dan ekstensif (muwassa’ah). Kegiatan membaca
dapat dilakukan dengan, antara lain:
a.
Muzakarat al-Talamiz; yakni dengan
mendorong peserta didik untuk mencari tahu dan mempertanyakan hal-hal yang
belum dimengerti dari sebuah wacana atau bacaan dengan cara guru menentukan
bacaan, guru memberi kesempatan antara 5-10 menit untuk mempelajari teks. Setelah
itu, peserta didik mengajukan pertanyaan kepada yang lain, kemudian guru
menjelaskan isi teks.
b.
Akhziyat al-Nash; dengan membagi
peserta didik dalam beberapa kelompok. Setiap kelompok diminta mengambil topik
yang terdapat dalam setiap alenia. Setelah selesai perwakilan kelompok
menyampaikan hasil kajian dari alenia tersebut pada kelompok lain, dan
seterusnya.
c.
Tartib al-Nash; teknis untuk
mengetahui kemampuan dan pemahaman dalam membaca dari peserta didik. Langkahnya
adalah peserta didik dibagi dalam beberapa kelompok, setiap kelompok diminta
untuk menyusun kembali kalimat atau wacana yang dipotong-potong atau terpisah
sehinga tersusun kembali menjadi sebuah bacaan yang sistematis.
4.
Menulis atau
Mengarang dan Model Pembelajarannya
Menulis ini
dapat dibedakan menjadi dua, yaitu insya’ muwajjah (mengarang terstruktur) dan
insya’ hurriyyah (mengarang bebas). Latihan ini dapat dilakukan dengan:
a. Ta’bir
al-Shuwar; meminta peserta didik untuk mengidentifikasi gambar-gambar, dan
menyusun tulisan sesuai gambar secara runtut dalam waktu yang telah ditentukan.
Kemudian, meminta beberapa peserta didik untuk mengkritisi tulisan tersebut.
b. Kitabat
al-Ma’lumat; meminta kepada peserta didik untuk menulis seputar problem yang
mereka temukan lewat berbagai media. Kemudian, dipresentasikan dan mendapatkan
masukan.
c. In’ikas
al-Maudlu; mengajak peserta didik untuk pergi ke suatu objek atau gambar,
kemudian diminta untuk mencermati dengan seksama. Setelah itu, peserta didik
diminta untuk menyusun topik gambar tersebut dalam bentuk tulisan berdasarkan
hasil dari pengamatan terhadap objek.
5.
Gramatika dan
Model Pembelajarannya
Dalam
pembelajaran modern, tata bahasa sebenarnya lebih merupakan media untuk
mengevaluasi kalam dan tulisan seseorang. Pembelajaran lebih menekankan pada
problem solving. Langkah pembelajaran dapat dilakukan dengan:
a. Musykilat
al-Tullab; yakni meminta setiap peserta didik untuk menulis materi yang paling
belum dipahami. Kemudian, tulisan tersebut digulirkan kepada teman yang ada di
sebelahnya hingga kembali pada dirinya untuk mendapatkan tanda cek list dari
peserta lain yang juga belum paham. Tanda cek list yang terbanyak adalah yang
belum banyak dimengerti.
b. Tariqatu an
Nasyath; peserta didik disuruh praktik langsung dengan diberi sebuah bacaan
atau topik yang di dalamnya terkandung contoh-contoh gramatika. Kemudian,
diminta untuk membaca dan menunjukkan berbagai contoh dalam bacaan tersebut
yang terkait dengan tata bahasa.
c. Thariqat
al-Nushush al-Mutakamilah; aplikasi dari strategi ini adalah peserta didik
diminta untuk membaca teks dan mendikusikannya. Kemudian, guru menjelaskan
contoh-contoh kalimat yang terkait dengan tata bahasa[22].
Bahasa arab merupakan bahasa yang sudah
tidak asing lagi dikalangan umat islam khususnya para santri yang tinggal di
pesantern ataupun para mahasiswa yang tinggal di perguruan tinggi atau
universitas islam baik negeri maupun swasta. Karena pentinganya hal ini selain
bahasa arab sebagai salah satu bahasa pengantar untuk menelaah lebih dalam lagi
akan khazanah khazanah islam yang telah diwariskan oleh nabi dan para sahabat
dan ulama’ terdahulu.
Bahasa arab adalah bahasa yang
sangat penting bagi kita. Karna bahasa arab merupakan salah satu
kunci untuk membuka khazanah-khazanah islam. Menurut Bapak Ali Hasan[23], Bahasa
arab merupakan bahasa yang sangat penting, karena dengan bahasa arab mahasiswa
dapat mempelajari agama islam dan bahasa arab adalah bahasa al-quran dan
hadits. Oleh karena itu, bahasa arab diterapkan di sekolah, madrasah dan
perguruan tinggi yang berbasis islam.
Penerapan bahasa arab disekolah atau madrasah
dengan cara menambah pelajaran di luar jam pelajaran. Kemudian penerapan bahasa
arab di perguruan tinggi dengan diadakannya program penunjang yang berbeda di
setiap Universitas atau Institut Islam yang ada. Contohnya, di IAIN Sunan Ampel
Surabaya yang mengadakan program penunjang bahasa arab, seperti: Program
Intensive, Unit Pengembangan Bahasa Asing yaitu bahasa arab dan bahasa inggris,
seminar, diskusi dan lain-lain. Di Fakultas Tarbiyah sendiri banyak
program yang dapat menunjang bahasa arab mahasiswa yang diadakan oleh bagian
Akademik, Senat Mahasiswa fakultas atau Himpunan Mahasiswa Jurusan. Contohnya:
Program Intensive, seminar, diskusi, lomba-lomba seperti: pidato dan debat
menggunakan bahasa arab. Dari program-program penunjang tersebut dapat
meningkatkan bahasa arab mahasiswa di fakultas tarbiyah, karena bahasa arab
merupakan suatu kompetensi yang harus dimiliki oleh setiap mahasiswa.
Pembelajaran bahasa arab di fakultas tarbiyah
antara satu jurusan dengan jurusan yang lainnya itu mempunyai perbedaan,
dilihat dari segi jurusan. Misalnya, pembelajaran di jurusan Pendidikan Agama
Islam yang hanya mempelajari bahasa arab secara umum. Berbeda dengan
pembelajaran di jurusan Pendidikan Bahasa Arab yang mempelajari bahasa
arab secara lebih mendalam. Dalam pembelajaran bahasa arab, setiap dosen
tidak lepas dari empat kemampuan untuk menerapkannya, yaitu: kemampuan
membaca, menulis, mendengarkan dan berbicara. Dari keempat
kemampuan itu, setiap dosen pasti menemui kendala-kendala dalam
penerapannya. Contoh kendala tersebut adalah tidak semua mahasiswa dapat
berbicara bahasa arab dengan baik dan tidak semua mahasiswa menyukai bahasa
arab, karena bagi mereka bahasa arab itu sulit, bahasa kuno dan peluang untuk
bekerja sangat sedikit. Mereka lebih termotivasi dengan bahasa inggris, yang
mereka anggap bahasa internasional dan lebih banyak peluang dalam
pekerjaan.
Bahasa arab di jurusan pendidikan bahasa arab
sangatlah ditekankan, dengan diterapkannya berbicara bahasa arab pada hari
senin dan selasa dan kegiatan-kegiatan yang menggunakan bahasa arab oleh
Himpunan Mahasiswa Jurusan dan juga pada saat mengikuti mata kuliah yang di
wajibkan berbahasa arab, seperti: Muhadatsah, Shorof, dan Istima’. pada
semester lima di jurusan ini dikembangkan
menjadi dua prodi, yaitu: tarjamah dan pariwisata. Meskipun adanya
perbedaan program studi, tetepi pada saat lulus diharapkan masih dapat mengajar
bahasa arab dengan metode-metode yang sesuai dengan pembelajaran bahasa arab. Di Indonesia, bahasa arab merupakan bahasa yang sudah
tidak asing lagi di telinga. Ini dikarenakan bahasa arab adalah salah satu
bahasa yang telah ikut serta mempengaruhi bahasa Indonesia, maka tidak
heran jika kemudian kita menemukan banyak kosa kata bahasa Indonesia yang
berasal dari bahasa arab. Sebut saja sebagai contoh adalah kata kursi, syukur,
amarah, dan lain sebagainya. Dr. Qoribulloh Babakr Musthofa, salah seorang
pengajar di Universitas Ummu Darman Sudan dalam salah satu tulisannya yang
berjudul Ta’liem al-Lughah al-‘Arabiyah fi Indonesia (ma lahu wa ma ‘alaihi)
mengungkapkan bahwa dalam sejarah persebarannya, bahasa arab di kenal di bumi
nusantara tidak lepas dari penyebaran agama islam yang memang notabene-nya
berasal dari arab[24].
Dalam perkembangan selanjutnya, khususnya setelah agama islam menjadi agama
mayoritas di Indonesia, masuklah istilah-istilah islam yang berbahasa arab
menjadi bahasa masyarakat kemudian menjadi bahasa budaya dan bangsa. Sejak saat
itu pula bahasa arab dipelajari, walaupun masih dalam lembaga-lembaga
pendidikan non-formal seperti pesantren, dan juga orientasinya masih sekedar
untuk memahami ajaran-ajaran agama (islam). Dewasa ini, pembelajaran bahasa
arab khususnya di lembaga pendidikan formal sudah mulai diperhitungkan,
termasuk di Indonesia sendiri. Hal ini tidak lepas dari semenjak dipilihnya
bahasa arab sebagai salah satu bahasa resmi yang digunakan oleh Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB) yang secara tidak langsung mengangkat derajat bahasa arab
sebagai salah satu bahasa internasional selain bahasa Spanyol, Inggris,
Prancis, dan Mandarin. Maka tidak heran jika kemudian kita melihat
sekolah-sekolah formal yang bernaung dibawah kementrian pendidikan menjadikan
bahasa arab sebagai salah satu materi yang diajarkan, setara dengan bahasa
inggris, prancis, dan lainnya. Tentunya disini, lembaga-lembaga pendidikan
dibawah naungan kementrian agama memiliki kesempatan yang lebih besar dalam
proses pembelajaran bahasa arab bahkan bahasa arab dijadikan sebagai materi
wajib, karena kurang lengkap rasanya jika mempelajari materi keagamaan (islam)
tanpa mempelajari bahasa arab yang berkedudukan sebagai bahasa kitab suci dan
kitab-kitab ulama klasik islam yang didalamnya memuat ajaran-ajaran agama
islam. Oleh karenanya, pembelajaran bahasa arab saat ini merupakan salah satu
pelajaran yang penting untuk dipelajari. Dalam proses pembelajaran
(pendidikan), setidaknya ada empat (4) hal yang harus diperhatikan yaitu,
tujuan (الهدف), metode (الطريقة), media (الوسائط),
dan evaluasi (التقويم). Keempat hal ini
saling mempengaruhi satu sama lain. Untuk mencapai keefektifan pembelajaran,
tentunya harus ada inovasi dalam setiap unsur tersebut. Inovasi tersebut
haruslah sesuai dengan situasi dan kondisi yang sedang berkembang. Oleh
karenanya, di pesantren yang notabene ingin para santrinya go internasional
didalam kurikulum pesantren bahasa arab dan bahasa inggris menjadi kurikulum
wajib, bahkan ada pesantren yang setiap harinya mewajibkan para santrinya untuk
menggunakan bahasa arab dan inggris sebagai bahasa setiap harinya[25].
Dalam konteks pendidikan di pesantren, menurut Nurcholish Madjid, istilah
kurikulum tidak dikenal di dunia pesantren, terutama masa prakemerdekaan,
walaupun sebenarnya materi pendidikan sudah ada dan keterampilan itu ada dan
diajarkan di pesantren. Kebanyakan pesantren tidak merumuskan dasar dan tujuan
pesantren secara eksplisit dalam bentuk kurikulum. Tujuan pendidikan pesantren
ditentukan oleh kebijakan Kiai, sesuai dengan perkembangan pesantren tersebut
termasuk di dalamnya adalah pembelajaran bahasa Arab[26].
Pada pondok pesantren tradisional, pembelajaran bahasa ini lebih diutamakan
pada penguasaan tata bahasa. Tata bahasa ini dipelajari dalam dua pembahasan
utama yang dikenal dengan ilmu nahwu dan sharaf. Kedua ilmu ini merupakan hal
urgen yang harus dikuasai untuk bisa mengetahui struktur dari bahasa yang menjadi
bahasa persatuan umat Islam ini. Dalam Bahasa Inggris, nahwu dan sharaf biasa
disebut dengan grammar atau structure, yaitu yang membahas seputar bentuk dan
perubahan kata serta penggunaannya dalam suatu kalimat. Di pesantren
tradisional, pembelajarann nahwu-sharaf ini bertingkat dengan berpedoman kitab
salaf atau klasik dalam ilmu nahwu sharaf. Semisal kitab Jurumiyah, ‘Imrithi,
Alfiyah, Amtsilatut Tashrifiyah, Maqsud, dan sebagainya.
Selain dalam model pembelajarannya, dalam pembelajaran sehari-hari juga
dengan Bahasa Arab, yaitu ketika mempelajari semua mata pelajaran atau dalam
mengkaji suatu ilmu, kitab yang dipakai atau dikaji dalam pelajaran tersebut
merupakan kitab berbahasa Arab atau lebih dikenal dengan kitab kuning yang
kemudian diartikan per kata. Sehingga langsung tahu bentuk-bentuk dari bahasa
ini dan mengerti arti per kata yang disajikan dalam kitab mata pelajaran
tersebut.
Selain itu, terkait dengan output dari model pembelajaran di pesantren
tradisional ini, para santri lulusan ini memiliki kualitas pemahaman dalam hal
memahami struktur kalimat dan pemaknaan per kata. Akan tetapi, pada pesantren
modern ini, para santri kurang memiliki wawasan dalam hal qoidah atau struktur
kalimat. Sehingga dalam praktinya, istilah grammar kurang diperhatikan. Dan
biasanya, tidak ada kitab rujukan khusus sebagaimana yang dilakukan di
pesantren tradisional sebagaimana penulis sampaikan di atas. Sehingga ketika
dibandingkan dengan lulusan pondok tradisional, santri modern memiliki
kekurangan dalam hal grammar atau struktur tata bahasa akan tetapi memiliki
keunggulan dalam hal percakapan dan komunikasi Bahasa Arab aktif dan tsaqafah
(baca:wawasan) dalam hal kosa kata.
1. Kurikulum
Kurikulum merupakan salah satu instrumen dari suatu lembaga pendidikan,
termasuk pendidikan pesantren. Untuk mendapatkan gambaran tentang
pengertian kurikulum, akan disinggung terlebih dahulu definisi tentang
kurikulum. Menurut Iskandar Wiryokusumo, kurikulum adalah “Program pendidikan
yang disediakan sekolah untuk siswa”[27].
Sementara itu, menurut S. Nasution, kurikulum adalah “Suatu rencana yang
disusun untuk melancarkan proses belajar-mengajar di bawah bimbingan dan tanggung-jawab
sekolah atau lembaga pendidikan beserta staf pengajarnya”[28].
Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa kurikulum pada dasarnya
merupakan seperangkat perencanaan dan media untuk mengantarkan lembaga
pendidikan untuk mewujudkan lembaga pendidikan yang diidamkan. Pesantren dalam
kelembagaannya, mulai mengembangkan diri dengan jenis dan corak pendidikannya
yang bermacam-macam. Pesantren besar, pesantren Tebuireng Jombang, misalnya, di
dalamnya telah berkembang madrasah, sekolah umum, sampai perguruan tinggi yang
dalam proses pencapaian tujuan institusional selalu menggunakan kurikulum.
Tetapi, pesantren yang mengikuti pola salafiyah(tradisional), mungkin kurikulum
belum dirumuskan secara baik.
Kurikulum pesantren “salaf” yang statusnya sebagai lembaga pendidikan
non-formal hanya mempelajari kitab-kitab klasik yang meliputi: Tauhid, Tafsir,
Hadits, Fiqh, Ushul Fiqh, Tasawwuf, Bahasa Arab (Nahwu, Sharaf, Balaghah
danTajwid), Mantiq dan Akhlak. Pelaksanaan kurikulum pendidikan pesantren ini
berdasarkan kemudahan dan kompleksitas ilmu atau masalah yang dibahas dalam
kitab. Jadi, ada tingkat awal, menengah dan tingkat lanjutan.
Kurikulum Bahasa Arab Model salaf (Tradisional) Tidak berlebihan jika
pesantren salaf merupakan genue bagi berkembangnya pesantren di Indonesia. Hal
ini dikarenakan pesantren salaf merupakan manifestasi dunia pesantren yang
berusaha untuk tetap berada dalam rel tujuan awal pendirianya, yakni sebagai
lembaga syi’ar (dakwah) dan pendidikan agama Islam. Sebagai sebuah lembaga
pendidikan Islam, pesantren salaf di awal perkembangannya hanya mengajarkan
agama dengan sumber mata pelajaran berupa kitab-kitab berbahasa Arab yang masuk
dalam kategori mu’tabarah. Pelajaran yang biasanya dikaji meliputi: Al Qur’an
dengan tajwid dan tafsirnya; hadits dengan musthalahnya, bahasa Arab dengan
nahwu, sharf, balaghah, arudl, dan mantiqnya; fiqih dengan hukum-hukum dan
ushul fiqihnya; serta akhlaq dengan warna tasawufnya. Kitab-kitab yang dipakai,
pada umumnya juga terbatas pad hasil karya ulama abad pertengahan (antra abad
12 – 15) yang kemudian lebih dikenal dengan istilah kitab kuning. Selain ilmu
agama, bahasa Arab merupakan pelajaran pokok yang harus diikuti dan dikuasai
oleh para santri. Sebab, tingkat penguasaan terhadap tata bahasa Arab
seringkali dijadikan tolok ukur kualitas seorang santri untuk mendapatkan
predikat Kiai. Maka, tidak heran jika kitab-kitab nahwu, (Jurumiyah, Mutamimah,
Imrithi, serta Al fiyah), kitab-kitab sharah (al Amstilah at Tashrifiyah,
Qawa’id al I’lal, Kaelani), serta kitab-kitab ilmu bahasa lainnya menjadi
santapan keseharian di pesantren salaf. Selain sebagai standar kualitas
determinasi tinggi dalam mempelajari ilmu bahasa (nahwu dan sharaf) di kaangan
santri salaf juga disebabkan oleh berkembangnya jargon “As Sharfu Umm al Ulum
wa al nahwu abuuhu” (sharaf adalah ibunya ilmu dan nahwu adalah bapaknya).
Dalam tradisi salaf, penguasaan bahasa Arab tidak diikutinya kesungguhan dalam
mempelajari ilmu tata bahasa Arab dengan usaha aplikatif untuk mempraktekkan
bahasa Arab dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini berakibat pada minimnya
tingkat penguasaan santri terhadap mufradat bahasa Arab, sehingga tingkat
keilmuan bahasanya adalah penguasaan bahasa pasif, bukan bahasa aktif.
Maksudnya adalah bahwa pesantren salaf lebih mengutamakan penguasaan teks
daripada penguasaan praktek. Singkatnya, ciri-ciri kurikulum bahasa Arab
tradisional dapat ditabulasi sebagai berikut:
1.
Lebih
memfokuskan pada penguasaan gramatika bahasa (nahwu dan sharf) yang
diimplemetasikan ke dalam bentuk pemahaman teks kitab-kitab kuning.
2.
Tidak
mementingkan perkembangan perubahan kosakata baru (al mufrodaat al
muta’akhirah) Tidak adanya praktek berbahasa (al muhadatsah) dalam percapakan
sehari-hari.
3.
Mengandalkan
kosakata dari perbendaharaan kitab-kitab klasik. Memfokuskan pada kedisiplinan
makna teks, ketimbang pemahaman komunikasi (percakapan).
Dari penjabaran ciri-ciri tersebut, diketahui mengapa metode salaf
mempunyai penguasaan pasif. Namun kelebihan ciri metode ini adalah pada
kemampuan penerjemahan teks-teks Arab. Pemahaman keagamaan yang lebih mendalam
dari hasil karena proses analisis kebahasaan yang komprehensif. Ini berbeda
sama sekali dengan kurikulum Bahasa Arab Model Pesantren modern muncul sebagai
usaha dunia pesantren untuk mengakomodasi perubahan zaman dan arus modernisasi.
Dengan kata lain, pesantren moden muncul sebagai bentuk kekecewaan terhadap
ortodoksi paradigma pesantren salaf dalam menyikapi perubahan-perubahan yang
ada, termnasuk respons terhadap penguasaan bahasa Arab yang pasif. Tetapi, sama
halnya dengan pesantren salaf, pesantren modern juga merupakan lembaga
pendidikan yang memiliki materi dan metode tersendiri dalam penyelenggaraan
pendidikan. Dalam perkembangannya, pesantren modern lebih identik dengan
pesantren bahasa (dalam pengertian bahasa aktif). Dalam dunia pesantren modern
penguasaan bahasa (Arab dan Inggris) seringkali dijadikan tujuan pendidikan dan
standard kecerdasan dan keberhasilan seorang santri. Bagi mereka, bahasa
merupakan alat komunikasi yang harus dikuasai untuk dapat bersaing dalam
kehidupan modern. Sehingga bahasa harus dipakai, dikomunikasikan, tanpa harus
takut menyalahi kaidah-kaidahnya yang baku. Hal ini didasarkan pada kaidah “al
Lughah ma yuqaal wa laisa ma yanbaghi an yuqaal” (Bahasa adalah apa yang
diucapkan, bukan apa yang seharusnya diucapkan). Selain materi keagamaan,
pesantren modern juga sudah mengajarkan materi pelajaran umum dan kegiatan
ekstra kurikuler. Dalam hal ini, para santri memiliki kegiatan di luar jam
pelajaran,s eperti olah raga, kesenian, keterampilan, pidato dalam tiga bahasa
(Arab, Inggris, Indonesia). Pramuka dan organisasi pelajar. Disinilah pesaren
modern berusaha mencari identitas, dengan merombak tatanan yang telah dianut
secara konservatif oleh sistem pesantren salaf.
Kurikulum bahasa Arab tradisonal mempunyai kelebihan memahami teks dan
penguasaan penerjemahan. Hal ini dipengaruhi oleh kedisiplinan untuk memegang
gramatika (nahwu dan sharf) yang diimplementasi ke dalam penerjemahan
kitab-kitab klasik. Bahasa Arab dalam metode tradisional mempunyai kelemahan
pada sisi praktek kebahasaan (komunikasi), atau dengan kata lain model ini
membentuk pola kebahasaan pasif.
2. Tujuan
Di antara Tujuan pembelajaran bahasa Arab di pesantren tradisional adalah:
a.
Menghafal
kosa kata dan memahami arti bahasa sumber/asing lewat terjemahan, setelah
terlebih dahulu menghafalkan kaidah-kaidah bahasanya.
b.
Peserta
didik harus tahu pentingnya bahasa sumber/asing,
membandingkannya dengan bahasabahasa lain, misalkan bahasa asal
(bahasa ibu), dengan demikian maka pengajar akan lebih leluasa meluangkan
waktunya mengajarkan tentang bahasa.
c.
Memfokuskan
pada keakuratan bahasa (Language Accuracy)
dalam memahami kaidah-kaidah bahasa, ketika melakukan
imla (dikte), menerjemahkan dan meminimalisir
keahlian dalam berbahasa (Language Proficiency).
d.
Mementingkan
materi yang terdapat dalam buku ajar dan menelaah kaidah-kaidah yang terdapat
di dalamnya, teks-teks, dan latihan-latihan.
e.
Mementingkan
aspek bacaan dan aspek bacaan tersebut diambil dari latihan menerjemahkan dari
bahasa asal/ibu ke bahasa sumber/asing dan juga sebaliknya.
f.
Banyak
latihan menerjemahkan kalimat-kalimat dari bahasa asal/ibu ke bahasa
sumber/asing dan sebaliknya, serta merangkai kalimat-kalimat yang
terputus-putus.[29]
3.
Bahan Ajar
Bahasa Arab merupakan pelajaran pokok yang harus diikuti dan dikuasai oleh
para santri. Sebab, tingkat penguasaan terhadap tata bahasa Arab seringkali
dijadikan tolok ukur kualitas seorang santri untuk mendapatkan predikat Kiai.
Maka, tidak heran jika kitab-kitab nahwu, (Jurumiyah, Mutamimah, Imrithi, serta
Al fiyah), kitab-kitab sharah (al Amstilah at Tashrifiyah, Qawa’id al I’lal,
Kaelani), serta kitab-kitab ilmu bahasa lainnya menjadi santapan keseharian di
pesantren salaf. Selain sebagai standar kualitas determinasi tinggi dalam
mempelajari ilmu bahasa (nahwu dan sharaf) di kaangan santri salaf juga
disebabkan oleh berkembangnya jargon “As Sharfu Umm al Ulum wa al nahwu abuuhu”
(sharaf adalah ibunya ilmu dan nahwu adalah bapaknya). Dalam tradisi salaf, penguasaan
bahasa Arab tidak diikutinya kesungguhan dalam mempelajari ilmu tata bahasa
Arab dengan usaha aplikatif untuk mempraktekkan bahasa Arab dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini berakibat pada minimnya tingkat penguasaan santri terhadap
mufradat bahasa Arab, sehingga tingkat keilmuan bahasanya adalah penguasaan
bahasa pasif, bukan bahasa aktif. Maksudnya adalah bahwa pesantren salaf lebih
mengutamakan penguasaan teks daripada penguasaan praktek
4.
Metode
Metode berasal dari kata methodosdari bahasa latin, sedangkan methodositu
sendiri berasal dari akar kata metadan hodos. Metaberarti menuju, melalui,
mengikuti, sesudah, sedangkan hodosberarti jalan, cara, arah. Dalam pengertian
yang lebih luas, metode dianggap sebagai cara-cara, strategi untuk memahami realitas,
langkah-langkah sistematis untuk memecahkan rangkaian sebab akibat berikutnya.
Sebagai alat, metode berfungsi untuk menyederhanakan masalah sehingga lebih
mudah dipecahkan dan dipahami. Metode adalah upaya mengimplementasikan rencana
yang sudah disusun dalam kegiatan nyata agar tujuan yang telah disusun tercapai
secara optimal. Metode adalah a way in achieving something.
Metode merupakan instrumen dan dipergunakan untuk mencapai tujuan
pendidikan atau alat yang mempunyai fungsi ganda, yaitu yang bersifat
polipragmatis dan monopragmatis. Oleh karena itu, secara umum metode diartikan
sebagai cara mengerjakan sesuatu, cara itu mungkin baik mungkin tidak baik.
Metode juga dapat diartikan sebagai cara untuk mempermudah pemberian pemahaman
kepada anak didik mengenai bahan atau materi yang diajarkan.
Secara umum, metode mengajar terbagi dua; tradisional dan modern. Dalam
istilah lain, para ahli menyebut klasifikasi metode ini
adalah konvensional dan inkonvensional. Metode mengajar
konvensional (tradisional) adalah metode mengajar
y ang lazim dipakai oleh guru. Metode
inkonvensional atau modern adalah suatu teknik meng ajar yang baru berkembang
dan belum lazim digunakan secara umum. Metode ini
masih merupakan metode yang baru dikembangkan
dan diterapkan di beberapa sekolah tertentu, yang mempu nyai peralatan dan
media yang lengkap serta guru-guru yang ahli menanganinya. Arsyad mengungkapkan
bahwa metode pengajaran bahasa asinguntuk pengajaran bahasa Arab merupakan ilmu
yang baru berkembang kemudian, jauh di belakang perkembangan metode pengajaran
bahasa Inggris. Meskipun demikian, bukan berarti me tode pengajaran bahasa Arab
selama ini yang masih bersifat ‘tradisional’ itu tidak berhasil, bahkan
dianggap cukup banyak me mbawa keberhasilan.
Beberapa metode pembelajaran bahasa Arab, diantaranya adalah: Metode
Grammar dan Terjemah//Grammar and Translation Method, Metode Grammar dan
Terjemah merupakan metode paling tua dari semua metode pembelajaran bahasa
Arab. Metode ini dikenal di Amerika Serikat di akhir abad ke-19, dengan nama
bermacam-macam di antaranya dengan nama
metode Prusia. Pada tahun 1930-an terkenal
dengan metode Grammar dan Terjemah karena hanya memfokuskan pada kajian
grammar atau tata bahasa dengan pola pengajaran teori bahasa secara langsung
yaitu menerjemahkan kaidah-kaidah tata bahasa, kalimatkalimat, dan susunan
kalimat dari bahasa sumber/asing ke bahasa asal/ibu.[30]
Pembelajaran metode Qawaid dan Terjemah ini
dapat dilakukan dengan cara, yaitu pengajar
mengambil salah satu kitab nahwu yang di dalamnya terdapat beberapa kaidah
bahasa dengan beberapa penjelasannya disertai dengan kamus 2 bahasa (bahasa
kitab/asing dan bahasa pengajar).
C. Teknik pembelajaran bahasa arab dipondok pesantren
Setiap pondok pesantren memiliki teknik pembelajaran bahasa arab
berbeda-beda, pada pembahasan disini peneliti akan menjelaskan teknik
pembelajaran bahasa arab di pondok pesantren yang akan diteliti[31].
Dalam mendapatkan model pembelajaran bahasa Arab yang efektif dibutuhkan metode
pembelajaran yang dapat mengakomodir semua
hal yang menjadi komponen dari pendidikan. Sedangkan dalam penelitian
ini dalam mencari pembelajaran bahasa Arab yang efektif dan efisien dalam
membentuk dan meningkatkan kemampuan santri dalam membaca literatur berbahasa Arab menemukan tiga
varian model pembelajaran bahasa Arab yang diterapkan di tiga pondok salaf,
semi salaf dan modern yang berbeda.
1. Teknik pembelajaran bahasa arab di Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in
Pondok
pesantren adalah tempat pembelajaran yang tertua yang ada di Indonesia,
pesantren sangat berperan aktif dalam mencetak kader-kader mudah yang potensial
dan mempunyai skill yang cukup tinggi, walaupun pesantren
lebih identik dengan pembelajaran ilmu agama namun para santri tak kalah saing
dengan santri non pesantren.
Pada umumnya dalam pesantren kerap sekali bahkan setiap hari di suguhi
dengan tulisan Arab atau kitab Arab yang biasanya disebut dengan kitab kuning,
dalam kitab kuning tak akan pernah dijumpai tulisan latin, yang ada hanyalah
tulisan berbahasa Arab tanpa harokat. Dalam hal ini para santri diwajibkan oleh
kiyai untuk bisa memahami apa yang dibahas dalam kitab itu, oleh karena itu
setiap santri berkewajiban untuk mahir dalam berbahasa Arab.
Bahasa Arab dalam pesantren tak hanya ada pada kitab kuning saja, dalam
proses belajar mengajar di madrasah diniyah para santri masih menjumpai bahasa
Arab. Apalgi pada pondok salafi seperti Langitan, Gontor dan lain sebagainya,
bahasa Arab menjadi bahasa yaumiyyah atau bahasa sehari-hari.
Dan untuk mencetak santri yang mahir dalam bahasa arab, tak
sedikit cara yang dilakukan oleh para pengasuh seperti menterjemah lagu-lagu
indonesia ke bahasa Arab, dari Inggris ke bahasa Arab, bahkan para santri
menghafal mufrodat untuk menambah kosa kata.
Dalam kegiatan pembelajaran di pesantren atau di madrasah diniah, pelajaran
yang paling di utamakan adalah pelajaran nahwu shorof yang
merupakan langkah pertama untuk menguasai kaidah-kaidah bahasa arab, dan untuk
selanjutnya para santri di wajibkan untuk menghafal nadhom-nadhom atau
syair-syair yang berhubungan dengan peljaran bahasa Arab, diantar nadhom-nadhomitu
adalah: nadhom maqsud, alfiyah ibn malik, qowaidul i’lal, tashrifiyah,
imrithi dan sebagainya.
Dalam penelitian yang peneliti lakukan di Pondok Pesantren
Tarbiyatun Nasyi’in , didapatkan hasil penelitian di antaranya yaitu, Pertama,bahwa
kemampuan membaca literatur berbahasa Arab yang dimiliki oleh santri, sebagai
dasarnya mayoritas didapatkan dari pembelajaran formal yang diterapkan oleh
Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in , seperti mengaji kitab kuning dikelas
(baik secara badongan maupun sorogan), muhafadzah dan
musyawarah. Yang dimaksud dengan metode badongan sendiri adalah metode
yang telah lama digunakan oleh kalangan umat Islam skolastik dari zaman
walisanga yang diwariskan kepada pembelajaran pondok pesantren pada abad modern
saat ini[32].
Metode ini sendiri disebut juga teacher center, di mana guru
memiliki peranan sangat penting dalam menyampaikan materi pelajaran kepada
muridnya. Jadi kesuksesan dan kegagalan dalam pendidikan model seperti ini
sangat bergantung kepada kualitas guru dalam memberikan pemahaman kepada
murid-muridnya. Dalam metode badongan ini sendiri dalam Pondok Pesantren
Tarbiyatun Nasyi’in dimaksudkan sebagai
pembelajaran yang bersifat umum, tanpa membeda-bedakan kualitas tingkat
kecerdasan santrinya. Karena tujuan utamanya adalah memberikan efek pembiasaan
kepada santri untuk sesering mungkin berinteraksi dengan bacaan-bacaan
berbahasa Arab, sekaligus mengartikannnya lewat makna gandul (bahasa
Jawa)[33].
Berbeda halnya
dengan metode pembelajaran sorogan yang diterapkan oleh Pondok Pesantren
Tarbiyatun Nasyi’in , yang menerapkan seleksi ketat kepada santrinya dalam
menentukan materi pembelajarannya. Hal ini disebabkan metode pembelajaran sorogan
merupakan media pembelajaran yang bersifat privat, yaitu santri membaca
kitab dan guru menyimak sekaligus membenarkan bacaannya[34].
Di mana tujuan utama diadakannya metode sorogan ini adalah meningkatkan
kemampuan santri Pacul Gowang yang masih di bawah rata-rata santri yang lain[35].
Hal ini disebabkan oleh kuantitas santri Pacul Gowang yang sangat banyak,
sehingga tidak mungkin dalam suatu model pembelajaran dapat di terima oleh
semua santri. Dengan kata lain, metode sorogan digunakan sebagai
pemerataan kemampuan santri Pacul Gowang dalam mendapatkan kemampuan membaca
literature berbahasa Arab (kitab kuning)[36].
Sedangkan pembelajaran dengan metode musyawarah, diperuntukan bagi
santri-santri yang sudah mahir dan cepat dalam menangkap pelajaran. Meskipun
musyawarah wajib diikuti oleh semua santri Pacul Gowang, akan tetapi terdapat
banyak sekali macam-macam musyawarah yang dapat santri ikuti untuk meningkatkan
kemampuannya dalam membaca kitab kuning.
Dalam musyawarah selain media pembelajaran bagi santri, ia juga
merupakan sebagai tahapan evaluasi bagi santri akan kemampuan yang dimilikinya.
Karena di dalam musyawarah santri dituntut aktif mengeluarkan seluruh
pengetahuan yang ia miliki dengan terus aktif memperbaharui pengetahuannya
melalui literatur kitab kuning[37].
Selain metode di atas ada metode muhafadzah[38],
di mana santri dituntut untuk mengahafalkan nadhom atau kaidah-kaidah
pembelajaran bahasa Arab, atau yang biasa disebut dengan nahwu shorof. Dalam
nahwu sorof inilah ruh pemebelajaran bahasa Arab dirumuskan oleh para ulama
salaf dalam memberikan pemahaman ajaran agama islam bagi orang diluar orang
Arab. Nadhom yang dihafalkan meliputi Jurumiyah, Imriti, Alfiyah dan Jumman.
Dalam keyakinan para mustayikh Pacul Gowang, bagi santri yang hafal nadhom-nadhom
tersebut, maka ia akan dapat, mengembangkan kemampuannya dalam membaca kitab
kuning literatur berbahasa Arab), bahkan dapat juga mengarang kitab,
sebagaimana yang dilakukan oleh para ulama salaf dan para kyai-kyai terdahulu.
Kedua, kemampuan santri dalam membaca kitab kuning (literatur
berbahasa Arab), selain Termotivasi dengan kewajiban pembelajaran yang
diterapkan oleh pondok pesantren. Tetapi juga termotivasi akan suasana
religious pesantren, seperti dengan meningkatkan kemampuan membaca literatur berbahasa
Arab dapat menyebabkan santri dapat memperdalam ilmu agama, yang mana itu
diyakininya sebagai tindakan yang bernilai ibadah[39].
Di dalam Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in , sebagaimana yang terdapat di
lembaga lembaga keagamaan di seluruh dunia, ia tidak hanya memprioritaskan
sistem pendidikan atau metode pembelajaran[40].
Tetapi yang menjadi fokus pendidikan keagamaan seperti Pacul Gowang adalah
proses pembelajaran dan hasil pembelajaran[41].
Yang dimaksud proses pembelajaran di pondok pesantren adalah di mana materi
lebih diutamakan dibandingkan metode yang digunakan, maka proses pembelajaran
bisa disebut juga pengkondisian santri dalam lingkup yang penuh religiusitas (ngalap
barokah kyai) agar dapat menerima materi yang diberikan oleh pondok
pesantren (militansi)[42].
Sedangkan Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in mengutamakan hasil adalah Pondok
Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in
sebagaimana pondok salaf yang lain, Pondok Pesantren Tarbiyatun
Nasyi’in tidak memperdulikan metode yang
digunakan atau metode yang digunakan metode yang sangat sederhana (warisan
walisanga), tetapi yang terpenting santri dapat menerima materi yang
disampaikan dan santri dapat mengaplikasikan ilmunya di kehidupan sehari-hari.
Jadi memang hal ini apabila dilihat dari segi peradaban teknik, pembelajaran di
Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in
sangat miskin metode dan teknik pembelajaran. Akan tetapi apabila
dilihat dari peradaban agraria, Pondok Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in sangat kaya akan materi dan sangat mencukupi
harapan umat muslim seluruhnya.
Ketiga, kemampuan dalam membaca literatur berbahasa Arab santri,
secara hakiki baik untuk meningkatkan motivasi dan kemampuan artikulasi serta
aplikasinya selain mengandalkan pendidikan formal di dalam kelas, tetapi juga
menggunakan kegiatan ekstrakurikuler, seperti kursus pidato bahasa Arab,
perkumpulan Qari’, musyawarah umum dan lain sebagainya. Kegiatan
ekstrakurikuler yang ada di semua lembaga pendidikan, pada dasarnya merupakan
kegiatan yang diperuntukan santri/santri yang memiliki cara belajar akan suatu
pembelajaran dengan jalan alternatif untuk memahami keahlian yang dimiliki
santri/santri. Maka dari sisi ini,
Pondok
Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in sangat
suskes dalam melihat kebutuhan santrinya dalam mengahadapi arus perubahan zaman
yang tidak mungkin bisa dihindari.
Keempat, kemampuan santri dalam membaca kitab kuning dan Al-Quran,
juga memiliki kontribusi yang besar dalam memengaruhi masyarakat di sekitarnya
untuk meningkatkan pemahaman-pemahaman mereka akan agama Islam yang bersumber
dari kitab kuning dan Al Quran. Memang pada era globalisasi seperti saat
ini,memaksa semua komponen pembentuk kehidupan manusia saling terkait dan tidak
bisa menghidari kenyataan tersebut. Maka kemampuan santri dalam membaca kitab
kuning dan Al-Quran yang mempengaruhi kehidupan religious masyarakat sekitar
merupakan bentuk keterkaitan antara salah satu aspek kehidupan manusia dengan
aspek yang lain. Dengan kata lain, eksistensi dari suatu lembaga/golongan akan
muncul dipermukaan ketika ia telah memberikan pengaruhnya.
2. Teknik pembelajaran bahasa arab diPesantren Bumi Damai Al-Muhibbin
Dari hasil penelitian yang peneliti temukan, pertama bahwa
pembelajaran bahasa Arab di Pondok Bumi Damai Al Muhibbin tetap mempertahankan
atau menggunakan model pembelajaran salafnya yang berupa sorogan, badongan,
muhafadzah dan musyawarah, dengan kata lain menganut pembelajaran pondok
salaf pada umumnya, tetapi pembelajarannya juga mengalami modifikasi yaitu
dengan menggunakan sistem pembelajaran santri aktif. Pembelajaran yang
berbentuk badongan, tidak jauh berbeda dengan pondok-pondok salaf yang
lain. Akan tetapi yang membedakan pembelajaran bahasa Arab di Pondok Bumi Damai
Al Muhibbin adalah metode Muhafadhoh di kombinasikan dengan metode
pembelajaran santri aktif[43].
Di mana pembelajaran dalam metode ini lebih mengandalkan keaktifan santri dalam
mencari tahu dan memahami materi yang disampaikan, sehingga santri dipaksa
sangat aktif dalam mencari referensi yang berkenaan dengan materi yang dibahas.
Metode ini memperkenalkan ide “waktu berfikir atau waktu tunggu”
yang menjadi faktor kuat dalam meningkatkan kemampuan santri dalam merespon
pertanyaan. Pembelajaran Kooperatif model Think-Pair-Share ini relatif
lebih sederhana karena tidak menyita waktu yang lama untuk mengatur tempat
duduk ataupun mengelompokkan santri. Pembelajaran ini melatih santri untuk
berani berpendapat dan menghargai pendapat teman[44].
Think Pair Share (TPS) adalah
strategi diskusi kooperatif yang dikembangkan oleh Frank Lyman dan
kawan-kawannya dari Universitas Maryland pada tahun 1981. Think Pair
Share memiliki prosedur yang secara eksplisit untuk memberi santri waktu
untuk berpikir, menjawab, saling membantu satu sama lain. Dengan demikian
diharapkan santri mampu bekerja sama, saling membutuhkan, dan saling bergantung
pada kelompok kecil secara kooperatif.
Sedikit berbeda dengan think-pair-share dengan metode yang
digunakan oleh Pondok Bumi Damai Al Muhibbin adalah tenggat waktu yang
digunakan oleh santri dalam berpikir yaitu lebih lama dari standart yang
digunakan dalam model pembalajaran think-pair-share[45].
Selain itu pengelompokan yang digunakan di dalam model pembelajaran
di pondok pesantren Bumi Damai Al Muhibbin lebih banyak dibandingkan dari
kelompok yang digunakan standart dalam model pembelajaran think-pair-share[46].
Akan tetapi dalam pelaksanaan penyampaian yang dilakukan santri
sama dengan aturan yang digunakan oleh model pembelajaran think-pair-share. Yaitu
santri yang mendapatkan giliran menjelaskan suatu materi dan santri yang lain
menanggapinya, baik mengkritik atau melengkapi bagian dari penjelasan dari
materi yang dirasa kurang. Sedangkan guru hanya bertugas mengawasi jalannyan
pembelajaran, dan mengoreksi isi yang disampaikan serta melengkapinya apabila
diperlukan.
Kedua pembelajaran bahasa Arab di Pondok Bumi Damai Al Muhibbin
menuntut kemandirian santrinya untuk aktif dalam meningkatkan keilmuannya,
bukan dengan cara mendiktenya satu persatu. Hal ini dapat terlihat ketika
santri tengah memasuki tingkat pendidikan musyawirin, yang menuntutnya untuk
aktif dalam pembelajaran pondok pesantren tanpa dibebani kewajiban-kewajiban
dalam pelaksanaan musyawarah dibagi menjadi tim ahli dan tim tamu yang saling beradu
argumen untuk mencapai kesepakatan dalam suatu persoalan. Metode pembelajaran
semacam ini sendiri sering disebut metode Takror atau Mudzakaroh. Takror
Ad-Durus merupakan suatu pertemuan ilmiah yang secara spesifik membahas masalah
diniyah seperti ibadah dan aqidah serta masalah agama pada umumnya.
Dalam mudzakarah tersebut dapat di bedakan atas dua tingkat
kegiatan: Pertama: Mudzakarah diselenggarakan oleh sesama santri untuk membahas
suatu masalah dengan tujuan, melatih para santri agar terlatih dalam memecahkan
persoalan dengan mempergunakan kitab-kitab yang tersedia. Salah seorang santri mesti
ditunjuk sebagai juru bicara untuk menyampaikan kesimpulan dari masalah yang
didiskusikan[47].
Kedua: Mudzakarah yang dipimpin oleh kyai, di mana hasil mudzakarah para santri
diajukan untuk dibahas dan dinilai seperti dalam suatu seminar. Biasanya lebih
banyak berisi Tanya jawab dan hampir seluruhnya diselenggarakan dalam bahasa
Arab[48].
Akan tetapi Takror Ad-Durus atau Mudakaroh yang dilakukan di Pondok Bumi Damai
Al Muhibbin mengutamakan kemandirian santri dalam mengembangkan kemampuan yang
dimilikinya.
3. Teknik pembelajaran bahasa arab di Pesantren Al Munawaroh
Diusia yang ke- 40 tahun sejak berdirinya,
Pondok Pesantren Al Munawaroh, sudah me”wisuda” 37 angkatan, dengan total
kurang lebih 17,000 Santri. Perkembangan santri dari santri pertama (1974)
hingga tahun 2014 sangat signifikan. Jika santri pertama berjumlah 3 (tiga)
orang, maka santri Al Munawaroh 1 sd Al Munawaroh 15 pada bulan Maret 2014
berjumlah 8,970 santri. Perkembangan jumlah santri tentunya diikuti dengan
perkembangan manajemen pengelolaan: sistem Pendidikan, system pengasuhan,
system administrasi dan keuangan, system pemeliharaan dan system hubungan
masyarakat.
Bahasa Arab, yang sejak awal berdirinya
Pesantren Al Munawaroh sudah dicanangkan sebagai bahasa resmi di Al Munawaroh,
di samping bahasa Inggris telah mengalami gerak sosial (social mobility),
perubahan dari metode pengajaran dan pembelajaran bahasa, penggunaan
buku pelajaran, naik-turunnya kualitas bahasa Arab pada santri. Hal ini
disebabkan banyak faktor, baik dari perkembangan jumlah santri, aturan
disiplin, respon stakeholder, dan hal lain yang mempengaruhi
perkembangan bahasa.
Namun, dari perkembangan bahasa di Al
Munawaroh, banyak hal yang sudah dan sedang dilakukan Pesantren Al Munawaroh
dalam upaya terus menjadikan dan memposisikan bahasa Arab sebagai Taajul
Ma’had – Mahkota Pesantren. Di antara usaha-usaha yang sudah
dilaksanakan Pesantren Al Munawaroh dalam upaya pemaksimalan penggunaan
bahasa Arab, antara lain :
a. Bidang Kepengasuhan Bidang Kepengasuhan atau yang biasa disebut Biro
Kepengasuhan merupakan salah satu Biro di Pesantren Al Munawaroh yang membawahi
segala urusan kepengasuhan santri di luar kelas, termasuk dalam menaungi Bagian
bahasa yang dijalankan oleh santri-santri senior.
b. Bagian Bahasa (قسم ترقية اللغة)
Organisasi Santri Al Munawaroh, diberikan mandat sepenuhnya untuk pengembangan
bahasa dengan melakukan pelbagai kegiatan pengembangan bahasa Arab dan Inggris.
Di antara hal-hal yang dilaksanakan Bagian Bahasa antara lain:
1.
Pemberian
Mufradat harian
2.
Ujian
mufradat
3.
Mewajibkan
muhadatsah
4.
Membuat
majalah dinding bahasa resmi
5.
Membuat
lomba bahasa (pidato, debat, qiraatul kutub, story telling, drama, dan
lainnya), seperti Al Munawaroh Language Competition 2nd Tahun 2013, Al
Munawaroh English Olympic.
6.
Membuat
buku panduan muhadatsah
7.
Membuat
tulisan-tulisan tasyji`ul lughah
8.
Membuat
klub-klub bahasa
9.
Menjalanan
mahkamah lughah
10.
Mewajibkan
semua kegiatan menggunakan bahasa resmi
11.
Mengikuti
seminar-seminar kebahasaa
12.
Melakukan
studi banding ke lembaga-lembaga lain
[1]Mukhamad Ilyasin,
Pendidikan Islam dalam Pendekatan Multidisipliner: Suatu Pengantar Kajian
Gradual Menuju Paradigma Global. Dinamika Ilmu, Vol. 10 No 2, 2010
[2] Muhammad Nasir,
Mahasiswa Islam dalam Perspektif Pendidikan Global. Dinamika Ilmu. Vol.
12 No 1, 2012
[3] Muhammad Nasir, Profesionalisme Guru Agama
Islam: Sebuah Upaya Peningkatan Mutu Melalui LPTK. Dinamika Ilmu. Vol.
13 No 2, 2013
[4] Pengalaman pribadi penulis selama mondok di
pesantren salaf (Pondok pesantren Abu Dzarrin Kendal Dander Bojonegoro) tahun
2009-2012.
[5] Isop Syafe’I,
Model Pembelajaran bahasa arab berbasis konstruktivisme di perguruan tinggi
islam, ( jurnal Vol. XVII No. 3 2012/1433 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah: (STIT)
At-Taqwa Bandung) h. 464.
[6] Dengan
diberikan mata pelajaran bahasa arab di pondok pesantren, maka akan sedikit
membantu para santri untuk bisa berbicara bahasa arab dalam memahami Maharah
Istima’, Maharah Kalam, Maharah Qiro’ah, Maharah Kitabah, kalau para santri
dapat memahami empat maharah tersebut maka santri tidak kalah bersaing dengan
siswa yang sekolah dilembaga formal.
[7] Abdurrahman Faridi, “Inovasi Pembelajaran
Bahasa Inggris Berbasis ICT dalam Rangka Meningkatkan Mutu Pendidikan”, dalam Journal
Lembaran Ilmu Kependidikan, Jilid 38, No. 1, Juni 2009, h. 59.
[8] P. Hubbard, Learner Training for Effective
Use of CALL. State College PA: Center for Advance Language Proficiency and
Education and Research, 2006), h. 98.
[9] Yusring Sanusi Baso, Program Multimedia
Bahasa Arab, (Padang: Prosiding PINBA IMLA, 2013), h. 221.
[10] Wilbur Schramm, Asas-asas Komunikasi Antar
Manusia, Terj. Agus Setiadi, (Jakarta: LP3ES, 1977), h. 86.
[11] Richard E. Clark, “Reconsidering Research on
Learning from Media”, dalam Journal JSTOR, 1983, Vol. 53, No. 4. pp.
445-459.
[13] Peserta didik disini juga bisa diartikan
dengan santri sebab keduanya memiliki kesamaan dalam hal belajar, kalau peserta
didik sebutan bagi seseorang yang belajar di sekolah formal, sedangkan santri
merupakan seseorang yang menuntut ilmu di pondok pesantren.
[14] Fenomena pondok pesantren diindonesia saat
ini (selain pondok pesantren Modern atau bahasa) yang lebih mendominankan
pembelajaran kitab kuning 90%, sedangkan pelajaran bahasa arab hanya 10% saja
itupun waktu santri dikelas ula kalau sudah Wustho, Ulya sudah tidak diajarkan
Pembelajaran bahasa arab lagi.
[15] Isop Syafe’I, Model Pembelajaran bahasa arab
berbasis konstruktivisme di perguruan tinggi islam, ( jurnal Vol. XVII No. 3
2012/1433 Sekolah Tinggi Ilmu Tarbiyah: (STIT) At-Taqwa Bandung) h. 469-470
[18] Ali Maschan Moesa, Nasionalisme Kiai Kontstruksi Sosial Berbasis
Agama (Cet II; Yogyakarta: Lkis yogyakarta, 2011), h. 94
[20] Radliyah Zaeniddin, Metodologi
dan Strategi Alternatif Pembelajaran Bahasa Arab (Cirebon: Pustaka Rihlah
Group, 2005), hal 55-57.
[24] Sumber:
Kumpulan penelitian dalam seminar nasional tentang observasi pendidikan bahasa
Arab di Indonesia, kerjasama PKPBA UIN-MAlANG dengan Jam’iyah Dakwah wa
at-Ta’liem fi januwb syarqi asia. Hal. 88
[25] Lihat: Pondok pesantren modern yang ada di
Indonesia, Misalnya: Pondok pesantren Darussalam Gontor Ponorogo.
[26] Nurcholish Madjid,
Bilik-Bilik Pesantren Sebuah Potret Perjalanan(Jakarta: Paramadina, 1997), hal.
59
Aksara,
1988), hal. 6.
[30] Abdul Aziz ibn Ibrahim
al-’Ushaili, Tharâiq Tadrîs al-Lughah al-‘Arabiyah lin Nâtiqîn bi Lughatin
Ukhrâ(Riyadh: Jami’ah
Imam
Muhammad ibn Su’ud al-Islamiyah, 2002 M/1423 H), hal. 33-34.
[31] Pondok pesantren Tarbiyatun Nasyiin
Paculgowang, Pondok pesantren Bumi damai Al-Muhibbin tambakberas, dan Pondok
pesantren Al Munawaroh Bandung diwek.
[33] Abudin Nata, Sejarah
Pertumbuhan Lembaga-lembaga Pendidikan Islam di Indonesia (Jakarta;
Grasindo, 2001), hlm. 104.
[34] Zamakhsyari Dhofir, Tradisi
Pesantren Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, (Jakarta; LP3ES, 1983), hlm.
44.
[35] Metode Sorogan sangat berguna
sebagai evaluasi pembelajaran di Pondok pesantren, sehingga kyai atau guru
dapat mengetahui kualitas pembelajarannya. Manfred Ziemek, Pesantren dalam
Perubahan Sosial (Jakarta; P3M, 1986), hlm. 138.
[36] Metode sorogan merupakan media
pembelajaran yang paling efektif dalam membina santri dalam menciptakan
kualitas, sehingga metode sorogan hanya bisa dilaksanakan kepada santri dengan
kuantitas yang terbatas. Pupuh Fathurrahman, Keunggulan Pendidikan
Pesantren; Alternatif Sistem Pendidikan Terpadu Abads XXI, (Bandung:
Tunas Nusantra, 2000), hlm. 28.
[37] Marwan Sarijo, dkk., Sejarah
Pondok Pesantren di Indonesia (Jakarta: Dharma Bhakti, 1980), hlm. 123-125.
[38] Dalam metode ini para santri
diberi tugas menghafal bacaan-bacaan dalam jangka waktu tertentu. Hafalan yang
dimiliki oleh santri ini kemudian dihafalkan dihadapan kyai/ ustadz secara
periodic/incidental tergantung pada petunjuk kyai/ustadz yang bersangkutan.
[39] Dalam keyakinan santri di Jawa,
bahwa tindakantindakan hidupnya harus dengan selaras nilai-nilai ibadah,
sebagaiman yang telah diajarkan Nabi Muhammad dan para Ulama. Abdul Mughits, Kritik
Nalar Pesantren (Jakarta; Kencana, 2008), hlm. 16
[41]Agus Muhammad Dahlan Ridlwan, Pondok
Pesantren Tarbiyatun Nasyi’in Sejarah
Peristiwa Fenomena dan Legenda (Kediri: BPK P2L, 2010), hlm. 233.
[42]Ahmad Zahro, Tradisi Intelektual
NU: Lajnah Bahsul Masa’il 1926-1999 (Yogyakarta: LkiS, 2004), hlm. 25-27.
[43] Metode “pembelajaran siswa aktif”
yang diterapkan dipondok Bumi Damai Al Muhibbin, merupakan upaya dari pondok
pesantren untuk meningkatkan kemampuan santri secara maksimal dalam menerima
materi pelajaran di Pondok Pesantren.
[44]Sa’dijah Cholis. Penerapan
Pembelajaran Kooperatif Think Pair Share TPS ( Malang:Lembaga Penelitian UM
2006 ), hlm. 12.
[45]Dalam pembelajaran di Pondok Bumi
Damai Al Muhibbin, waktu berpikir santri relatif lebih panjang, yaitu satu hari
(24 jam), yang dilaksanakan pada waktu malam hari saat musyawarah kelas,
kemudian keesokan harinya hasil musyawarah di presentasikan di depan kelas.
Sedangkan think-pair-share membatasi waktu berpikir 20-30 menit.
[46] Pengelompokan di pondok pesantren
Bumi Damai Al Muhibbin lebih mengedepankan kebersamaan santri-santrinya,
sehingga pengelompokan tidak dibagi-bagi, akan tetapi hanya dijadikan satu
kelompok besar dan kelompok kecil berupa individu yang mendapat tugas sebagai
presentator. Sedangkan dalam think-pair-share, pengelompokan minimal dua sampai
tiga orang yang bergiliran dalam melakukan tugas presentator dan pengkritik.
[47] Zuahirini dan Abd. Ghofir, Metodologi
Pembelajaran Pendidikan Agama Islam (Malang; UM , 2004), hlm. 60.
[48]Imron Arifin, Kepemimpinan Kyai,
Kasus Pondok Pesantren Tebu Ireng (Malang; Kalimasyahada Press, 1993), hlm.
39.
Komentar
Posting Komentar